Polemik maraknya politisi ulama menjadikan rakyat menggantungkan pilihan tanpa menerapkan luber jurdil pada saat pemilu berlangsung dan mempercayakannya pada ulama atau partai yang berlatarbelakang islam sehingga terjadi fanatisme masyarakat. Dalam hal ini perlu adanya kesadaran toleransi dalam menyikapi ulama dan politik praktis di Indonesia sebab warga negara indonesia tidak hanya terdiri  dari orang islam. Selain itu kita dapat mengiyaskan keadaan masyarakat indonesia dengan kota Madinah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad yang tertera dalam piagam madinah mengenai non muslim (yahudi) yakni tetap menghargai kepercayaan agama yahudi dan menghormati mereka sebagai warga negara.
Peraturan tentang hubungan yahudi dan muslim juga menyepakati jika yahudi (non muslim) tidak menyerang, muslim wajib melindungi kaum yahudi dengan alasan satu bangsa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Piagam Madinah sangat menegaskan tidak adanya fanatisme antar suku dan agama.
Secara nalar matematis, jika kita ambil sebarang x adalah anggota himpunan muslim dan y adalah anggota himpunan non muslim, maka penerapan Q.S Al-kafirun ayat 1-6 pada ayat ini menyimpulkan bahwa antar agama tidak bisa saling memaksa, hal ini ditegaskan lagi dalam Q.S Al-baqoroh ayat 256. Alasan dari ayat tersebut terdapat pada teorema hidayah dalam QS Yunus : 99 yang menjelaskan bahwa maha pemberi hidayah hanyalah Allah semata. Dalam hal ini, jika kita ambil keterangan himpunan semesta adalah masyarakat indonesia, maka sesuai dalam HR Ibnu 'Abbas , ia berkata kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah? Maka beliau bersabda:" Al-hanifiyyah As-Samhah(yang lurus lagi toleran) sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat kewarganegaraan dan keislaman yang terbaik adalah toleransi.
Dalam penerapan ilmu politik, jika kita ambil sebarang a adalah anggota himpunan politisi ulama dan b adalah anggota himpunan politisi non ulama dan ambil sebarang c adalah anggota himpunan masyarakat. Berlaku tiga sifat operasi bilangan yaitu komutatif, asosiatif, dan distributif. Dimana sifat yang ada dalam variabel ini dapat diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat khususnya politisi indonesia. Sifat komutatif ( a + b + c ) = ( c + b + a) memiliki kolerasi dengan kesadaran toleransi politisi non ulama dan seluruh elemen masyarakat non muslim. Sifat asosiatif ( (a + c ) + b ) = ( a + ( b + c ) ) sangat relevan dengan kesadaran toleransi politisi ulama. Dan sifat distributif  ( ( a + b ) x c ) = ( a + c x a + b ) dapat diinterpretasikan dengan kesadaran toleransi masyarakat dalam menyikapi politik praktis di Indonesia.
Sifat komutatif dalam operasi bilangan pada paragraf sebelumnya dapat kita maknai sebagai cara pandang politisi non ulama atau masyarakat non muslim dalam menyikapi partai islam atau politisi ulama. Variabel memiliki sifat keindividualisme dan sifat sosialisme pada ranah yang berbeda. Individualisme variabel a, b, dan c dapat dicerminkan dalam hal agama dan kepribadian, sebagaimana pengaturan kebebasan beragama dalam Q.S Al kafirun ayat 6 dan perihal kepribadian dan pekerjaan dalam Q.S Yunus ayat 41.
Hak asasi berpolitik pun seharusnya dapat diterima oleh golongan politisi non ulama dan masyarakat non muslim, sebab bagaimana pun juga seorang ulama adalah bagian dari WNI( Warga Negara Indonesia) yang memiliki HAM yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28C ayat 2 yang berbunyi, "Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masayarakat, bangsa, dan negaranya. Sehingga jika terdapat diskriminasi terhadap suatu golongan maka hal tersebut menyalahi aturan UUD 1945 dan tidak dibenarkan pernyataannya.
Sifat Asosiatif dapat menjadi salah satu referensi pertimbangan politisi ulama dan atau ulama non politisi dalam menyikapi dunia politik praktis yang terjadi di Indonesia. Dalam sifat asosiatif operasi bilangan pada paragraf sebelumnya dapat ditafsiri siapapun pemimpin baik a atau b ( baik ulama ataupun non ulama ) dapat mendampingi c ( masyarakat ) sebagai pemimpin negara atau wakil rakyat, selama pemimpin tersebut dipilih secara adil dan memenuhi syarat-syarat kepemimpinan sebagaimana Q.S Al- Maidah ayat 57 dan QS. At-Taubah ayat 23. Namun jika disadari terdapat beberapa penyelewengan yang terjadi maka sesuai QS An-Nisa ayat 59, kita boleh tidak menaati pemimpin yang tidak amanah tersebut. Dalam hal ini, mungkin dapat menjadi inspirasi bagi para pemuka agama, bahwa kesadaran menjadi pemimpin sangat dianjurkan , sebab dengan memasuki dunia pemerintahan, secara tidak langsung juga jihad di jalan Allah menjaga agar islam tetap aman dan berkembang.
Sedangkan sifat Distributif pada paragraf sebelumnya dapat diterapkan masyarakat dalam menyikapi dunia politik. Siapapun pemimpin yang menjabat, kita harus berlaku adil bahwa golongan a (politisi ulama) ataupun golongan b (politisi non ulama) merupakan bagaian dari masyarakat, dan mereka adalah wakil masyarakat yang seharusnya dihormati dan ditaati sebagaimana QS An-Nisa ayat 59. Sehingga masyarakat harus mengedepankan toleransi dan memperbanyak referensi tentang para politisi baik ulama atau non ulama. Jangan sampai kita tercerai berai hanya karna fanatisme semata. Sebab dalam QS. Al Hujurat ayat 11 kita semua diciptakan untuk saling mengenal, bukan membanggakan antar golongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H