Pernikahan adat di Bima, Nusa Tenggara Barat, kaya akan tradisi yang penuh dengan nilai budaya dan filosofi. Setiap tahapannya mencerminkan rasa kekeluargaan, penghormatan kepada leluhur, serta komitmen terhadap ikatan pernikahan. Berikut lima keunikan dalam prosesi pernikahan adat di Bima:
1. Mbolo Weki
Mbolo Weki adalah langkah awal dalam pernikahan adat di Bima, di mana keluarga kedua belah pihak berkumpul untuk berdiskusi dan bermusyawarah mengenai rencana pernikahan. Pertemuan ini diadakan di rumah keluarga perempuan dan dihadiri oleh anggota keluarga besar kedua belah pihak. Tujuan utama dari Mbolo Weki adalah untuk mencapai kesepakatan mengenai pernikahan, seperti tanggal pelaksanaan, hantaran, hingga jumlah mas kawin.
Tradisi ini mencerminkan bahwa pernikahan bukan sekadar penyatuan dua individu, tetapi juga dua keluarga besar. Mbolo Weki menekankan pentingnya restu keluarga dan kebersamaan dalam menjalankan setiap langkah pernikahan.
2. Wa'a Coi
Wa'a Coi adalah upacara membawa mahar atau mas kawin, dari keluarga laki laki ke keluarga perempuan.
Pada umumnya  prosesi Wa'a Coi keluaga laki laki membawa perlengkapan wanita, makanan, perabotan rumah, dan sebagainya. Tapi semuanya itu harus di jelaskan berapa nilai nominalnya. Â
Di acara Wa'a Coi, kedua keluarga saling mengenal lebih dalam dan berdiskusi mengenai rencana pernikahan, memastikan kesiapan calon pengantin, serta menegaskan nilai-nilai kekeluargaan dan komitmen yang akan dijalani.
3. Teka Ra Ne'e
Teka Ra Ne'e adalah hajatan yang dilakukan oleh kedua pihak calon pengantin. Teka Ra Ne'e ini merupakan pemberian bantuan kepada keluarga yang mengawinkan anaknya dengan tujuan untuk membantu acara perkawinan anaknya. Umumnya ketika acara Teka Ra Ne'e dilakukan masyarakat sekitar akan mendatangi rumah calon pengantin dengan memberikan bantuan seperti Uang, beras, pakaian, dan sebagainya.
4. Peta Kapanca
Kapanca adalah salah satu tradisi budaya Bima yang dilaksanakan oleh pengantin wanita sebelum melakukan berbagai rangkaian acara pernikahannya. Acara peta kapanca harus diiringi dengan lantunan syair dan zikir bernuansa islami, hal ini dilakukan agar calon pengantin Wanita selalu mendapatkan berkah, dan calon pengantin Wanita harus menyiapkan 99 butir telur yang dihias seperti bunga telur yang dihias sebanyak 99 butir tersebut sebagai simbol asmaulhusna.
Calon pengantin Wanita harus menggunakan baju adat Bima dan duduk di dampingi oleh ibu kandungnya dan calon ibu mertuanya. Calon pengantin Wanita duduk di atas panggung dengan posisi kaki lurus ke depan lalu kedua tangan di letakkan di atas bantal yang di alaskan daun pisang. Sebelum Menempelkan daun pacar, harus dibacakan sinopsis kapanca yang berisi Sejarah,tata cara menempelkan daun pacar kepada calon pengantin Wanita, dan dilantunkan oleh sholawat.
Setelah proses pembacaan sinopsis peta kapanca, lalu di tempelkan daun pacar ke kedua telapak tangan calon Wanita oleh ibu-ibu yang diundang khusus sebanyak 7 orang secara bergantian sambil mendoakan calon pengantin wanita. Setelah menempelkan daun pacar ibu-ibu tersebut menaburkan bongi monca (beras kuning) sambil membaca sholawat.
Setelah rangkaian acara peta kapanca selesai ada satu tradisi yang dilakukan oleh orang Bima pada saat acara peta kapanca selesai yaitu Taji Ranca dolu (Rebutan telur) taji ranca dolu yang dimaksud adalah para gadis atau ibu-ibu tamu undangan yang belum menikah harus rebutan 99 telur yang sudah dihias seperti bunga.Â
Hal ini dipercaya bahwa seseorang yang mendapatkan telur tersebut agar secepatnya mendapatkan pasangan dan menikah. Sampai saat tradisi peta kapanca ini masih sangat melekat di masyarakat Bima.