Dalam era di mana platform digital yang semakin mendominasi diskurusus publik, fenomena cancel culture menimbulkan dilema antara tanggung jawab sosial dan kebebasan berbicara. Apakah tindakan representasi dari tirani mayoritas yang membungkam suara-suara minoritas? atau justru ancaman terhadap pilar utama liberalisme, yaitu kebebasan individu?
Fenomena cancel culture telah menjadi salah satu dinamika sosial yang paling menonjol dalam era digital, khususnya di platform media sosial yang menjadi wadah bagi kebebasan berekspresi. Cancel culture didefinisikan sebagai tindakan kolektif yang dilakukan oleh sekelompok individu untuk memboikot atau mengisolasi pihak tertentu yang dianggap telah melanggar norma-norma sosial, moral, atau etika. Meskipun muncul sebagai respons terhadap isu-isu sosial seperti ujaran kebencian dan diskriminasi, fenomena ini juga memunculkan perdebatan serius terkait prinsip kebebasan berbicara dalam kerangka liberalisme.
Liberalisme, sebagai sistem pemikiran politik dan filsafat yang menekankan pentingnya kebebasan individu, memandang kebebasan berpendapat sebagai hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat. Cancel culture menghadirkan tantangan terhadap prinsip ini, karena di satu sisi bertujuan untuk menegakkan akuntabilitas sosial, namun di sisi lain berpotensi menekan ruang diskursus terbuka dan inklusif. Dalam konteks hubungan internasional, fenomena ini menimbulkan implikasi signifikan terhadap perdebatan global mengenai hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, serta norma etika yang bervariasi di berbagai negara. Negara-negara di dunia harus menavigasi dilema antara melindungi kebebasan individu di tingkat global dan menjaga stabilitas sosial dalam lanskap politik yang semakin terpolarisasi.
Dalam wacana liberal, strategi seperti cancelation dan deplatforming tetap menjadi topik perdebatan yang intens. Kaum liberal klasik umumnya berpandangan bahwa lebih baik memberikan ruang bagi perspektif yang kontroversial atau ofensif agar dapat dihadapi dan dibantah secara terbuka dalam arus bebas ide.Â
Namun, banyak kalangan progresif berpendapat bahwa kepercayaan semacam itu terhadap kebebasan pasar ide tidak didukung oleh bukti yang menunjukkan meluasnya praktik rasisme sistemik, misognisme, dan berbagai bentuk ketidakadilan sosial lainnya.Â
Mereka menekankan bahwa terus memberikan ruang bagi pandangan diskriminatif hanya akan mengabadikan normalisasi fanatisme, memperkuat posisi kaum ekstremis, serta semakin menyulitkan kelompok-kelompok yang sudah terpinggirkan dalam upaya mereka meraih martabat dan keamanan eksistensial di tengah dinamika global yang semakin kompleks.
Liberalisme telah mengintegrasikan berbagai wawasan penting dari kritik antirasisme dan keadilan sosial. Sebagai contoh, terdapat konsensus yang kuat bahwa penyangkalan Holocaust tidak dapat diterima dalam kerangka toleransi liberal. Namun demikian, kalangan kiri budaya masih menghadapi daftar panjang yang terus bertambah terkait wacana yang dianggap menyakitkan serta simbol-simbol represif yang mereka ingin singkirkan dari ruang publik. Ketidakselarasan di dalam tubuh kiri liberal ini telah dieksploitasi oleh kalangan kanan politik di Barat, yang dengan penuh semangat menuduh aktivis keadilan sosial sebagai ancaman bagi kebebasan masyarakat.
Esensinya bukanlah menghapus semua batasan dan membiarkan kebebasan berbicara tanpa kendali atau tanggung jawab. Akan tetapi, sebagai sistem yang menjunjung kebebasan individu, liberalisme harus beradaptasi dalam menghadapi cancel culture dengan menyeimbangkan hak berbicara dan tanggung jawab sosial. Di mana adalah tantangan besar bagi masyarakat multikultural yang semakin terhubung secara global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI