[caption id="attachment_200365" align="aligncenter" width="640" caption="Dengan perasaan yang sangat gembira, si bungsu berlari memasuki halaman sekolahnya."][/caption] Tingkah anak-anak SD saat memasuki tahun ajaran baru sangat beragam, ada yang pakaiannya kedodoran, ada yang ranselnya lebih besar dari badannya, malah ada yang menangis. Di halaman sekolah, terlihat sejumlah ibu-ibu sedang menemani anaknya yang baru masuk SD tahun ini. Anak itu menangis, tidak mau ditinggal sendiri, dia minta ditemani ibunya. Sampai akhirnya si ibu harus masuk ke ruang kelas sejak hari pertama belajar, Senin (9/7) lalu, sampai hari ini. Lain lagi tingkah anak-anak yang sudah kelas dua dan tiga. Setelah libur panjang selama dua minggu, sepertinya mereka merasa keenakan libur sehingga timbul rasa malas sekolah. Pernah seorang ibu setengah bertengkar dengan anaknya untuk memaksa pergi sekolah. Apakah mereka juga terkena syndrome “benci hari senin” seperti syndrome para karyawan? Sepertinya bukan itu, karena sekolah adalah tempat bermain bagi anak-anak. Si bungsu, adik saya yang duduk di kelas tiga SD sudah dua hari “ngadat” tidak mau sekolah. Berbagai jurus bujuk rayu sudah dicoba, namun, dia tetap tidak mau sekolah dengan berbagai alasan. Dengah wajah imutnya, dia beralasan sakit, alasan malu, sampai diam tanpa alasan. Sampai-sampai ibu hampir kehilangan kesabaran untuk membujuknya agar pergi sekolah. Sore kemarin, tanpa sengaja saya mendengar obrolannya di teras rumah dengan beberapa teman sepermainannya. Teman-temannya bercerita bahwa mereka dapat bangku di depan karena hari pertama hadir lebih pagi. Sementara itu, si bungsu mengaku belum dapat bangku karena sudah dua hari tidak masuk sekolah. Dia bercerita kepada teman-temannya tidak berani sekolah karena belum ada oleh-oleh untuk ibu guru. “Kenapa ibu guru kamu minta oleh-oleh?” tanya Oca, anak tetangga sebelah rumah. “Iya, sebelum liburan, aku minta permisi sama ibu guru mau ke Banda Aceh,” cerita si bungsu. “Terus apa dijawab ibu guru?” tanya temannya yang lain. “Boleh kata ibu guru, tapi jangan lupa bawa oleh-oleh untuk ibu guru, kue adee (bika),” tambah si bungsu. Saya baru teringat, sepulang dari Banda Aceh, Sabtu yang lalu, ibu membeli empat kotak kue adee. Waktu itu, si bungsu menyimpan satu kotak di lemari bajunya. Saya juga heran, kenapa dia menyimpan kue di lemari baju. “Untuk ibu guru,” kata si bungsu, singkat. Waktu pulang dari joging, saya sangat lapar karena tidak sempat sarapan pagi. Dengan sembunyi-sembunyi, saya mengambil kue adee itu dari lemari si bungsu, lalu menghabiskannya. Si bungsu sempat meraung-raung ketika mengetahui oleh-oleh untuk ibu gurunya telah saya habiskan. Setelah kehilangan oleh-oleh, si bungsu kelihatan sering murung. Ketika ditanyakan apa penyebab kemurungannya, dia tidak menjawab. Kalau dipaksa juga, dia hanya menjawab tidak mau sekolah karena kue adee-nya telah dihabiskan si kakak. Sampai akhirnya dia benar-benar tidak mau sekolah, sehingga mengkhawatirkan kami sekeluarga. Tanpa membuang waktu, hasil dialog si bungsu dengan teman-temanya, saya beritahu ayah. Kemudian beliau langsung menelepon temannya, seorang sopir travel L-300 yang malam itu berangkat ke kota saya. Ayah minta tolong si sopir agar membeli satu kotak kue adee begitu tiba di Meureudu, Pidie Jaya. Selesai subuh, pintu diketuk dari luar. Ternyata si sopir yang mengantar kue adee pesanan ayah. Setelah membayar harga kue adee dan ongkos, sangat jelas ayah berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada si sopir. Setengah jam kemudian si bungsu bangun, wajahnya masih muram. Saya katakan, segera bersiap-siap untuk ke sekolah. Namun, dia diam tak bereaksi. Saya tunjukkan sekotak kue adee untuk oleh-oleh kepada ibu gurunya. Serta merta kegembiraan muncul diwajahnya, kemudian dia berlari ke kamar mandi dan bergegas memakai pakaian sekolah. Di depan sekolah, saya pandangi langkah si bungsu yang terburu-buru sambil menenteng kantong plastik hitam berisi kue adee. Kemudian, dia menyerahkan oleh-oleh itu kepada ibu guru yang berdiri di gerbang sekolah, lalu dia berlari masuk ke halaman sekolah. Hati saya senang luar biasa, akhirnya si bungsu sekolah kembali. Oleh-oleh untuk ibu guru berhasil membangkitkan semangat sekolahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H