Setelah masa liburan selama seminggu di kampung halaman selesai, aku bersiap-siap untuk kembali ke kampus. Pakaian, buku dan perlengkapan lainnya sudah aku masukkan dalam ransel hitam. Makanan ringan dan buah-buahan yang disiapkan ibu sudah dimasukkan dalam kotak mie instan. Sore ini, aku dan kakak sulung akan berangkat ke Banda Aceh menumpang mobil L300.
Tiket L300 sudah kupesan sejak tiga lalu. Mobil travel itu akan menjemputku ke rumah setelah magrib. Sejak pukul 17.00 WIB tadi, aku sudah siap-siap menunggu jemputan. Aku takut tertinggal jemputan, karena angkutan jurusan ke Banda Aceh penuh semuanya. Aku tidak ingin terlambat mendaftar ulang, karena besok batas akhir pendaftaran ulang kuliah.
Aku baru duduk di semester pertama. Hasil yang kuperoleh di semester pertama cukup memuaskan walaupun belum sangat memuaskan. Hasil ujian yang rata-rata bernilai B, membuatku ingin segera kembali ke kampus. Ingin bertemu teman-teman sekampu dan segera mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Unsyiah. Ingin makan bakso di kantin kampus.
Tahun lalu, setelah selesai ujian nasional, aku hampir tidak mau kuliah. Kata teman-teman SMA, mata pelajaran di perguruan tinggi itu sulit dimengerti. Kakak mereka yang sudah kuliah, banyak yang drop out. Sebelum masuk kuliah, aku belum bisa membayangkan kuliah itu seperti apa. Rupanya kuliah di perguruan tinggi itu menyenangkan. Dosennya nggak pernah marah, mau masuk boleh, mau mangkir nggak dilarang.
***
Dik Acap, adikku yang bungsu masih berumur tujuh tahun tidak pernah mau melepaskan tanganku. Dia memintaku untuk tidak kembali ke Banda Aceh. Kemana aku berjalan, dia terus mengikutiku. Sampai aku ke kamar mandi pun, dia menungguku di depan pintu. Matanya mulai memerah. Air matanya menetes satu persatu membahasi pipinya yang kecil.
Suara tangisannya tidak terdengar, hanya tetesan air mata yang menandakan dia sedang menangis. Melihatnya, mataku juga mulai berair. Aku berusaha menutupinya dengan pura-pura cuci muka ke kamar mandi. Dia tetap bertahan agar aku jangan dulu kembali ke Banda Aceh. Dia minta aku agar menemaninya seminggu lagi.
Pop...pop...pop....bunyi klakson mobil L300 memanggil kami. Aku segera bergegas mengantar tas dan kotak makanan ke bagasi L300 yang siap berangkat ke Banda Aceh. Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB, seharusnya L300 itu sudah berangkat pukul 19.00 WIB tadi. Aku pamit kepada ibu dan ayah, termasuk Dik Acap. Namun, dia tetap tak melepaskan tanganku. Berungkali pak sopir menakan klakson mobil memberi tanda mobil segera berangkat.
Akhirnya ibu membujuknya dengan janji akan mengunjungiku minggu depan. Saat itulah Dik Acap menjerit sekeras-kerasnya. Dia menangis sambil memanggil-manggil namaku. Begitu aku masuk mobil, angkutan itu segera berangkat menuju Banda Aceh. Aku harus kembali ke kampus, bisikku dalam hati. Aku tidak boleh cengeng, aku harus kuliah.
Sebenarnya, kalau besok bukan hari terakhir mendaftar ulang, aku ingin tinggal seminggu lagi, itu bisikan berulang-ulang di hatiku. Dalam perjalanan menembus pekatnya malam, aku juga makin tak bisa melupakan Dik Acap. Dua kali dia minta ibu meneleponkku. Dia berbicara sambil menangis. Tanpa terasa, air mataku juga tak terbendung membasahi pipiku. Akh...akhirnya aku juga menangis.
Kata ibu, Dik Acap terus menangis sampai akhirnya tertidur bersama hanphone ibu. Dia terus menunggu telepon balasan dariku. Aku tak mampu membendung keharuan, dan membiarkan diriku menangis mengenang kelucuan adik bungsu itu. Hampir saja aku memutuskan untuk kembali ke rumah di Jalan Lintang. Tetapi aku sudah bertekad untuk kembali ke kampus. Aku harus tegar.