Mohon tunggu...
alyamustika Arafah
alyamustika Arafah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum keluarga islam

saya suka mencoba hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Pembaharuan Hukum Dispensasi Kawin dalam Sistem Hukum di Indonesia

7 Maret 2023   07:27 Diperbarui: 7 Maret 2023   07:31 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

REVIEW BOOK

Judul          : Pembaharuan Hukum Dispensasi Kawin Dalam Sistem hukum Indonesia

Penulis       : Dr. Mardi Candra, S.Ag., M.Ag.,M.H.

Penerbit     : KENCANA

Terbit         : 2021

Cetakan     : Pertama 


      Buku tulisan karya Dr. Mardi Candra, S.Ag., M.Ag.,M.H. yang berjudul "Pembaharuan Hukum Dispensasi Kawin Dalam Sistem hukum Indonesia" mendiskripsikan secara lengkap tentang perkawinan anak dan dispensasi kawin. Di dalamnya secara spesifik membahas lima pokok pikiran penting  yaitu, pertama perkawinan anak dalam berbagai perspektif yang didalamnya menguraikan pravelensi perkawinan anak. Kedua, paradigma perkawinan anak, menjelaskan asas-asas pernikahan dalam dispensasi kawin. Ketiga, modernisasi perkawinan anak. keempat, asas dan tujuan mengadili perkawinan anak. Kelima, praktik mengadili perkawinan anak.

      Belasan ribu anak Indonesia melakukan perkawinan di bawah umur yang semakin meningkat di setiap tahunya. Bahkan menurut data survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), mengatakan lebih dari 25 persen perempuan Indonesi usia 20-24 tahun sudah pernah menikah sebelum berumur 18 tahun. Indonesia menjadi negara ke-2 tertinggi di ASEAN dalam pravelensi perkawinan anak setelah kamboja, dan menempati urutan ke-7 tertinggi di dunia atas angka absolut pengantin anak . Fenomena ini menunjukan bahwa ternyata tentang perkawinan anak di Indonesia bukanlah hal yang baru, perkawinan anak dari dulu sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia, hal ini dibuktikan karena adanya peningkatan di setiap tahunya.

      Dalam awal bab kita akan menemukan penjelasan tentang perkawinan dalam berbagai prespektif. Salah satunya dalam perspektif agama, pada dasarnya agama tidak mengatur konkrit tentang perkawinan anak dan batas usia minimal untuk menikah, tetapi mengingat bahwa perkawinan merupakan (mitsaqan ghalizan) yang menuntut setiap orang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan juga kewajiban. Maka harus didasarakan juga pada pembebanan hukum (taklif), didasarkan pada akal (mumayiz), baligh (cukup umur), dan pemahaman, dengan demikian syarat calon mempelai yaitu mukalaf. Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat (ahliyatul ada') dan kecakapan menerima hak (ahliyatul wujub) .

      Hukum sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat, hukum juga merupakan norma yang muncul karena adanya gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Tanpa gejala sosial hukum tidak pernah terbentuk begitupun sebaliknya, seperti hal nya adanya dispensasi kawin ini. Aturan ini muncul karena banyak sekali perkawinan anak di indonesia yang dilaakukan secara ilegal.

      Sesuai dengan namanya dispensasi kawin, maka hukum yang dipakai itu adalah hukum pengecualian dari hukum yang sebenarnya, sehingga membolehkan yang seharusnya tidak boleh di dalam hukum, maka menjadi boleh karena adanya sebab-sebab tertentu berdasarkan putusan pengadilan. selain sebagai pengecualian hukum, dispensasi kawin ini harus diselaraskan dengan beberapa asas yang ada di dalam perkawinan yaitu:

  • Asas sukarela, persetujuan kedua belah pihak. Yang dimana dalam perlaksanaan dispensasi kawin ini harus atas kerelaan kedua mempelai, maka dari itu hakim harus mengidentifikasi adanya unsur paksaan.
  • Asas perkawinan untuk selamanya, di dalam dispensasi kawin ini juga harus ada tujuanya dalam perkawinan. Karena tidak jarang terjadi perkawinan karena dispensasi ini karena adanya faktor hamil diluar nikah, sehingga tidak jarang pula kejadian jika anaknya sudah lahir maka berakhir pula perkawinan nya.
  • Asas suami kepala keluarga.
  • Asas kematangan calon mempelai.
  • Dispensasi kawin ini sering terjadi pada anak di bawah umur yang seharusnya anak masih mendapatkan hak nya yaitu mendapatkan pendidikan yang layak. Maka dari itu tujuan utama dalam pengaturan dispensasi kawin adalah untuk perlindungan dan kepentingan anak. Karena terkadang orang tua mengajukan dispensasi kawin ini dengan alasan anaknya sudah lama pacaran jadi harus segera dinikahkan. Dengan alasan tersebut menyalahi aturan dalam asas yang ada dalam dispensasi kawin yakni asas sukarela, karena sebenarnya orang tua yang memaksa anak untuk segera menikah.
  • Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pernikahan anak dibawah umur. Pada praktiknya, secara umum faktor yang banyak berkontribusi terjadinya pernikahan terhadap anak di bawah umur adalah faktor agama, faktor budaya(adat), faktor sosial, dan faktor hukum yang berkembang di masyarakat.
  • Menurut penulis, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan membangun opini masyarakat agama Indonesia, sehingga dalam praktinya mendapat tempat di masyarakat, yakni: pertama, perkawinan adalah bernilai ibadah, karenanya setiap orang termasuk anak-anak berhak lebih cepat memasuki dunia ibadah tersebut. Kedua, menghindari perbuatan dosa, hal ini dipicu kekhawatiran para orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat terjadinya pergaulan bebas antara anak laki-laki dan perempuan yang berujung perbuatan zina. Ketiga, justifikasi perkawinan nabi Muhammad saw, dengan aisyah r.a yang dijadikan isu melegitimasi perkawinan anak-anak dari kalangan tokoh agama, sehingga menjadi contoh dimasyarakat. Padahal hadist ini banyak di tolak oleh peneliti hadist sebagai dalil dibolehkanya perkawinan anak, karena penyebutan umur dalam hadist tersebut hanya sebagai unsur berita, bukan hukum. Keempat, kawin hamil, faktor ini seolah-olah melegalkan perkawinan anak.
  • Peraturan tentang dispensasi kawin ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Trentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ditegaskan pada pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :
  • "(1) perkawinan hany diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. (2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pria dan/ atau orang tua wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup"
  • Tinjauan yuridis terhadap Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ini didasarkan pada pemahaman, bahwa usia perkawinan menjadi hal penting dalam persoalan rumah tangga, yang dapat muncul dalam konteks krisis akhlak, ketidakharmonisan, dan tidak adanya tanggung jawab. Meskipun secara faktual diakui bahwa perkawinan anak telah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat Indonesia dan telah merambah praktik melalui lembaga peradilan agama.
  • Praktik dispensasi kawin seperti yang tertera pada Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 terkesan "menggampangkan" proses perkawinan tanpa mempertimbangkan keharmonisan dan tujuan dari pernikahan. Jika orientasinya hanya untuk pemenuhan nafkah batin, dianataranya hubungan seks maka makna perkawinan menjadi hilang dan tidak sejalan dengan indikasi hukum perkawinan islam.

  • Maraknya perkawinan anak akibat adanya dispensasi kawin ini memberikan dampak buruk untuk kedepanya salah satunya yaitu pendeknyan usia pendidikan generasi muda Indonesia, karena banyak anak putus sekolah. Kondisi tersebut mengakibatnya menurunya kualitas hidup sebagai generasi muda Indonesia, karena tidak memiliki kemampuan/skill/pengetahuan. Hal ini berbanding lurus dengan pertambahan penduduk miskin di kota maupun desa dalam usia muda. Di samping itu pula, besarnya angka perceraian anak yang diakibatkan oleh KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) karena tidak adanya kesiapan psikologi_fisik, tidak adanya kematangan pengetahuan sosiologis dalam menghadapi lembaga perkawinan.
  • Tingginya masyarakat yang menggampangkan masalah dispensasi perkawinan sudah jelas menjadi hal yang harus kita cegah. Menurut penulis, terdapat tiga solusi yang dapat dipertimbangkan oleh decision maker, pertama, berlakunya sanksi pidana bagi pihak pihak yang terlibat dalam perkawinan anak secara ilegal. Kedua, berlakunya aturan yang ketat yang dilengkapi pemberian denda dalam pemberian izin dispensasi kawin. Ketiga, lakukan sosialisasi secara massif kepada seluruh masyarakat Indonesia.
  •             

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun