Mohon tunggu...
alyafarah
alyafarah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa S1 di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Fenomena Work Life Balance : Bagaimana Generasi Muda Mendefinisi Produktivitas

10 Januari 2025   02:31 Diperbarui: 10 Januari 2025   02:31 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source by pinterest jeremyjbruce

Fenomena work-life balance semakin menjadi sorotan utama di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda yang terus berupaya menyeimbangkan karier dan kehidupan pribadi. Perubahan zaman, berkembangnya teknologi, dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental telah membawa perubahan signifikan pada cara generasi muda memandang produktivitas. Dengan kehadiran teknologi yang mengaburkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, kebutuhan akan work-life balance semakin dirasakan sebagai hal yang mendesak. Artikel ini akan membahas fenomena work-life balance di Indonesia, khususnya dalam konteks generasi muda, serta bagaimana mereka meredefinisi produktivitas dalam dunia kerja yang semakin dinamis. 



Fenomena Work Life Balance di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, work-life balance menjadi isu yang banyak dibicarakan oleh pekerja di Indonesia. Kesadaran tentang pentingnya keseimbangan ini tumbuh seiring meningkatnya tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi, terutama sejak pandemi COVID-19 yang memaksa banyak orang bekerja dari rumah. Bagi sebagian besar pekerja, mengaburkan batas antara waktu kerja dan waktu pribadi membawa tantangan baru, termasuk stres yang berlebihan, kelelahan mental, dan berkurangnya waktu untuk keluarga. Secara sederhana, work-life balance diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membagi secara seimbang waktu dan energi antara tanggung jawab pekerjaan dan kebutuhan pribadi. Ini termasuk bagaimana seseorang menjaga batasan yang jelas antara kedua aspek tersebut untuk mencegah kelelahan. Dampak positif dari work-life balance yang baik meliputi peningkatan kesehatan fisik dan mental, pengurangan stres, serta penciptaan rutinitas yang mendukung produktivitas.

Perusahaan-perusahaan di Indonesia juga mulai merespons tuntutan ini. Beberapa perusahaan besar, seperti PT Unilever Indonesia dan PT Astra Indonesia Motor, dikenal karena kebijakan yang mendukung keseimbangan kehidupan kerja bagi karyawannya. Contoh kebijakan yang diimplementasikan termasuk waktu kerja yang fleksibel, promosi kesejahteraan mental, serta program pengembangan karier yang berorientasi pada kebahagiaan karyawan. Dengan kebijakan semacam ini, perusahaan berusaha menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.


Gen Z dan Mis(persepsi) Work-Life Balance

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, adalah kelompok yang pertama kali memasuki dunia kerja dengan kesadaran tinggi tentang work-life balance. Namun, terdapat perbedaan pandangan antara generasi ini dengan generasi sebelumnya, seperti baby boomers dan milenial. Baby boomers dan milenial sering memegang teguh prinsip hustle culture, yaitu budaya kerja keras tanpa batas waktu. Sebaliknya, Gen Z lebih menekankan pentingnya kedamaian hidup, waktu luang, dan keterlibatan dalam kegiatan pribadi yang memperkaya kualitas hidup mereka. Namun, pandangan Gen Z tentang work-life balance terkadang salah kaprah. Banyak di antara mereka yang menganggap bahwa work-life balance berarti memisahkan pekerjaan dan kehidupan pribadi sepenuhnya, tanpa adanya keterlibatan emosional atau tanggung jawab tambahan di luar jam kerja. Ini sering menyebabkan friksi di tempat kerja, terutama ketika Gen Z dinilai kurang inisiatif dan kurang mau berusaha lebih keras untuk mencapai hasil yang maksimal. Mispersepsi ini, pada gilirannya, dapat menghambat potensi mereka untuk maju di dunia kerja yang kompetitif. Di sisi lain, pengharapan terhadap work-life balance ini sering kali tidak diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang tuntutan dunia kerja. Kesuksesan yang sering dikaitkan dengan kerja keras dan pengorbanan, seperti yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh terkenal seperti Steve Jobs atau Bill Gates, seolah-olah dianggap tidak relevan bagi beberapa kalangan Gen Z. Hal ini menimbulkan paradoks: "generasi yang berambisi untuk sukses, namun tidak siap berkompromi dengan tuntutan yang ada. 


Menghadapi Tantangan Gen Z dalam Dunia Kerja

Bagi perusahaan dan institusi, tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana memaksimalkan potensi dari generasi Gen Z dengan tetap mempertimbangkan aspirasi mereka terhadap work-life balance. Generasi yang tumbuh di era digital ini memiliki kebutuhan yang berbeda, dan sering kali sulit untuk menyesuaikan diri dengan metode kerja konvensional yang dijalankan oleh generasi sebelumnya. Oleh karena itu, perusahaan harus mulai mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel, inovatif, dan inklusif dalam mengelola tenaga kerja muda. Penting bagi para pemimpin perusahaan untuk memahami sudut pandang Gen Z. Mengkritik dengan pendekatan "zaman saya dulu" sudah tidak lagi relevan dan sering kali tidak diterima oleh kalangan muda. Sebaliknya, memberikan ruang bagi Gen Z untuk menyalurkan kreativitas, mendukung keseimbangan kehidupan kerja yang realistis, dan menawarkan fleksibilitas yang logis dapat menjadi kunci untuk mendapatkan produktivitas yang optimal dari generasi ini. 


Tren Terkini dalam Work-Life Balance

Isu work-life balance terus berkembang, dengan beberapa tren terbaru yang relevan dalam konteks produktivitas generasi muda. Beberapa isu yang sedang menjadi perhatian utama di dunia kerja adalah:

1. Fleksibilitas Kerja Hybrid Seiring dengan tren bekerja dari rumah, perusahaan mulai mengadopsi model kerja hybrid, di mana karyawan dapat bekerja secara bergantian dari rumah dan kantor. Model ini diharapkan mampu mengatasi masalah work-life balance sekaligus mempertahankan produktivitas.

2. Kesehatan Mental sebagai Prioritas Kesehatan mental kini menjadi perhatian utama di lingkungan kerja. Perusahaan yang menyediakan program dukungan kesehatan mental, seperti konseling atau mental health days, telah dilihat sebagai upaya penting dalam menjaga karyawan tetap produktif dan bahagia.

3. Teknologi yang Mendukung Work-Life Balance Teknologi telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, alat komunikasi digital memungkinkan karyawan untuk tetap terhubung dengan pekerjaan di mana saja. Namun, hal ini juga mengaburkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Perusahaan harus menemukan keseimbangan dalam penggunaan teknologi untuk mendukung worklife balance. 


Fenomena work-life balance semakin relevan di era modern, terutama bagi generasi muda seperti Gen Z yang memiliki perspektif berbeda tentang produktivitas. Mereka mengutamakan keseimbangan dan kualitas hidup, meskipun terkadang pandangan tersebut disalahartikan. Dengan pendekatan yang tepat, seperti kebijakan kerja yang fleksibel dan pengelolaan tenaga kerja yang lebih inklusif, perusahaan dapat memanfaatkan potensi besar dari generasi ini. Tantangannya adalah menemukan titik tengah antara tuntutan produktivitas dan keinginan akan kedamaian hidup yang mereka impikan.


Referensi:

The Balance Careers. (2023). What is Work-Life Balance? Work-Life Balance • Forbes. (2023).

How Generation Z Redefines Success In The Workplace. Gen Z Workplace Success  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun