Seperti yang kita ketahui bersama Sungai Ciliwung memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan ekosistem perkotaan di wilayah Bogor, Depok dan Jakarta. Selain sebagai pengendali banjir sejak dulu Sungai Ciliwung kerap dijadikan tumpuan dalam menunjang kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Sebagai bagian integral dari tata lingkungan perkotaan kondisi Sungai Ciliwung dalam satu dekade terakhir dinilai cukup memprihatinkan. Data menunjukkan bahwa 35 Ton sampah bersemayam di Sungai Ciliwung setiap jamnya. Kondisi tersebut telah berlangsung lama dan membentuk presepsi masyarakat luas bahwa Sungai Ciliwung “kotor, bau sampah, dan penyebab banjir.” Hal tersebut begitu senjang dengan fakta bahwa seratus tahun lalu air di Sungai Ciliwung dikonsumsi sebagai air minum oleh penduduk setempat. Lebih lanjut, ketika sebuah sungai di lingkungan urban terpelihara maka dapat difungsikan sebagai sistem drainase dan pengelolaan banjir dengan dijadikan saluran alami untuk aliran air hujan yang mana nantinya dapat mengurangi risiko banjir perkotaan bukan sebaliknya.
Sungai juga mendukung keanekaragaman hayati dengan menyediakan habitat bagi spesies akuatik dan terestrial yang berkontribusi pada keseimbangan ekologi di kawasan perkotaan. Faktanya dahulu Sungai Ciliwung menjadi habitat endemik 270 fauna air dan sayangnya keanekaragaman hayati khas Sungai Ciliwung telah mengalami penurunan yang signifikan karena saat ini hanya tersisa 20 fauna endemik akibat dari urbanisasi, pencemaran dan alih fungsi lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menggangu stabilitas ekosistem sungai.
Selain itu di luar kepentingan lingkungannya, sungai meningkatkan nilai estetika dan budaya di wilayah perkotaan. Banyak kota memanfaatkan tepian sungai sebagai ruang untuk pariwisata, rekreasi, dan kegiatan komunitas, yang mendorong kohesi sosial dan aktivitas ekonomi. Sungai pada ekosistem urban dapat membantu mengatur suhu perkotaan melalui proses evapotranspirasi sehingga berkontribusi pada regulasi iklim di lingkungan padat bangunan.
Maka dari itu dibutuhkan usaha konservasi, perlindungan dan keberlanjutan sumber daya air. Sungai Ciliwung sebagai elemen vital ekosistem perkotaan tidak hanya menunjang aktivitas keseharian melainkan memiliki peran yang lebih krusial dalam menjaga keseimbangan lingkungan perkotaan. Sehingga upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan ekosistem air pada Cungai Ciliwung diperlukan agar tercipta keharmonisan di segala aspek baik ekonomi, sosial, lingkungan.
Agar dapat mencapai tujuan tersebut diperlukan pengelolaan yang mencangkup pendekatan terpadu yang mana mengkombinasikan pengendalian limbah cair, normalisasi DAS dan pemulihan ekosistem air sungai yang telah terdegradasi. Namun, upaya tersebut sejatinya tidak dapat berhasil jika tidak adanya sinergi dari semua elemen masyarakat. Dengan Demikian diperlukan peningkatan kesadaran publik melalui pendidikan baik ditunjukan untuk masyarakat umum maupun pada usia sekolah sebagai muatan lokal yang dapat diajarkan di sekolah. Pendidikan merupakan langkah awal pengetahuan sebagai dasar untuk mengubah perilaku. Lembaga pendidikan patut berkontribusi dalam pemulihan Sungai Ciliwung.
Adanya sekolah hijau pada wilayah tersebut seharusnya di design untuk menciptakan keseimbangan antara pengembangan individu, kesejahteraan dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Sebagai muatan lokal di sekolah peserta didik diajarkan mengenai sejarah, fungsi, dan manfaat Sungai Ciliwung serta diberikan edukasi mengenai hal-hal yang akan terjadi ketika ekosistem Sungai Ciliwung rusak dan sepenuhnya tidak dapat memulihkan diri untuk melakukan peranannya dalam lingkungan. Ketika pemangku kebijakan dan lembaga pemerintah berperan aktif bersama dalam hal ini maka akan tercipta pola pikir baru mengenai Sungai Ciliwung. Sungai tersebut nantinya akan dihormati dan dipandang ‘bersahabat’ sehingga harus dijaga. Hal ini disebabkan sejatinya koneksi persahabatan antara masyarakat dan Sungai Ciliwung timbul ketika masyarakat mengetahui dan memahami pentingnya sungai tersebut bagi keberlangsungan lingkungan di masa depan, seperti pepatah “tak kenal maka tak sayang.” Ungkapan ini sejatinya menggambarkan pentingnya pengenalan sebagai langkah awal untuk menciptakan empati dan hubungan yang mendalam. Dalam konteks sosial, hal ini relevan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap isu-isu lingkungan, seperti kondisi Kali Ciliwung. Kali yang sering dianggap sebagai "tempat sampah raksasa" ini menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman dan kedekatan masyarakat dengan sungai telah mengakibatkan pengabaian fungsi ekologisnya.
Pendidikan memegang peran strategis dalam memperkenalkan nilai penting lingkungan kepada generasi muda. Melalui kurikulum berbasis lokal dan pendekatan pembelajaran berbasis proyek, siswa dapat diajak untuk memahami Kali Ciliwung sebagai bagian dari kehidupan yang perlu dijaga. Program seperti penanaman pohon di bantaran sungai, edukasi pengelolaan sampah, atau kunjungan lapangan dapat mengubah perspektif siswa dan masyarakat, sehingga mereka "mengenal" dan pada akhirnya "menyayangi" sungai tersebut.
Melalui integrasi antara pendidikan dan aksi sosial, perubahan perilaku masyarakat terhadap Kali Ciliwung dapat terjadi secara berkelanjutan. Ketika terjalin ikatan yang kuat dan bersahabat dengan alam, kita dapat melihat sungai bukan hanya sebagai jalur air, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan budaya kita. Dengan demikian pada akhirnya etika ekologi yang dibangun dari pembentukan pola pikir melalui edukasi natinya dapat mengkontruk dan mengubah karakter individu. Sehingga transformasi budaya peduli lingkungan yang baik dapat tercipta walau hasilnya tidak akan instan dan membutuhkan komitmen dalam jangka Panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H