Mohon tunggu...
ALYA AZMINOVALIA
ALYA AZMINOVALIA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi jurusan hukum keluarga dan sebagai seorang yang memiliki hobi memasak dan menari ehehh :)

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam UUD NO. 1 Tahun 1974

18 Februari 2024   22:10 Diperbarui: 18 Februari 2024   22:22 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

   Penulis :

1. Aisyah Kamila Syahidah

2. Alya Azmi Novalia 

  Pada asas sukarela dalam UU No 1 Tahun 1974 mengarah pada hal persyaratan persetujuan dari kedua belah pihak  mempelai dan mahar yang akan diberikan pada berlangsunya akad nikah,perkawinan yang dilakukan adalah harus didasarkan pada keyakinan kecocokan kedua belah pihak, bukan karna paksaan dari pihak lain. Prinsip ini menunjukkan bahwa perkawinan harus dilakukan secara sukarela dan tidak boleh dipaksa atau adanya perjanjian tertentu yang mengikat. Dengan demikian, asas sukarela dalam UU No 1 Tahun 1974 menjamin bahwasannya perkawinan dilakukan atas dasar kehendak kedua belah pihak sendiri dengan adanya kesepakatan, sehingga dapat tercipta hubungan perkawinan yang diinginkan oleh banyak orang yaitu keluarga harmonis dan bahagia dengan menciptakan suasana rumah tangga yang dibangun dengan kerukunan antara keduanya dan dapat melahirkan banyak hal positif dalam sebuah komitmen pasangan.

     Pada asas partisipasi keluarga dalam UU No 1 Tahun 1974 mengrah ke persyaratan mengenai persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai seperti, pemberian besar atau berapa mahar yang akan diberikan, dan disaksikannya akad nikah oleh 2 (dua) orang saksi serta adanya wali dari pihak calon mempelai perempuan. Hal  ini menunjukkan bahwa sebuah pelaksanaan perkawinan bukan hanya menjadi tanggung jawab kedua belah pihak yang akan menikah, tetapi juga adanya partisipasi keluarga dan masyarakat di sekitar. Maka dari itu , asas partisipasi keluarga dalam UU No 1 Tahun 1974 menginginkan bahwa perkawinan dilakukan dengan melibatkan partisipasi dan persetujuan dari keluarga dan masyarakat sekitar, sehingga dapat tercipta hubungan perkawinan yang harmonis dan mendapat dukungan dari lingkungan,masyarakat,kerabat dan rekan disekitar yang juga dapat merasakan sebuah keharmonisan dari kedua mempelai tersebut.

  Pada asas perceraian dipersulit dalam UU No 1 Tahun 1974  lebih mengarah ke prinsip yang dirancang agar proses pengajuan perceraian menjadi lebih sulit dan agar memerlukan pertimbangan yang matang sebelum dilakukannya pengajuan perceraian tersebut. Yang  kemudian dalam hal ini bertujuan untuk melindungi sebuah keutuhan keluarga, mencegah perceraian yang terjadi secara sembarangan sehingga dapat merugikan salah satu pihaknya, serta memberikan kesempatan bagi pasangan suami istri untuk mempertimbangkan kembali sebelum memutuskan untuk bercerai lalu memperbaiki apa yang telah terjadi sehingga membuat hubungan keduanya menjadi retak. Dengan adanya penerapan asas ini, diharapkan bahwa perceraian tidak akan terjadi secara impulsif dan akan meminimalisir adanya pengajuan perceraian serta dampak negatif dari perceraian, terutama bagi pasangan suami istri maupun bagi keluarga antara keduanya.

     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur asas poligami harus diketatkan. Asas monogami yang dimaksud bukanlah monogami mutlak, tetapi monogami terbuka. Yang artinya, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Diperbolehkannya poligami tetapi dengan pengecualian dan syarat-syarat tertentu yang mengikat, seperti harus adanya persetujuan istri dan kemampuan seorang suami untuk selalu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak tanpa adanya tindakan pilih pilih atau membuat seorang istri dan anaknya yang lain merasa seperti dibedakan. Jika seorang suami tidak mampu dalam berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang, maka cukup dengan seorang istri saja. Poligami juga harus dilakukan dengan persetujuan istri, dan izin poligami dapat diberikan oleh Pengadilan Agama asal berdasarkan alasan yang sah menurut ketentuan hukum, setelah adanya pemerikasaan dan mendengar kesaksian atau keterangan dari istri yang bersangkutan.

     Pada asas kematangan calon mempelai dalam UU No. 1 Tahun 1974 mengarah pada batasan usia yang diperbolehkan untuk melangsungkan menikah. Pada Pasal 7 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa  sebuah perkawinan hanya diizinkan jika seorang pria dan wanita sudah mencapai usianya 19 tahun dan 16 tahun, secara berturut-turut. Selain itu, bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun, harus memperoleh izin yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974. Prinsip dari pasal  kematangan calon mempelai ini bertujuan untuk memastikan bahwa kedua belah pihak telah matang secara fisik dan mental untuk melangsungkan perkawinan, sehingga dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan saat telah berlangsunya pernikahan dalam rumah tangganya meminimalisr terjadinya pertengkaran karna pikiran yang belum matang tersebut atau biasa disebut labil.

     Pada asas memperbaiki derajat kaum wanita dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah prinsip yang memiliki tujuan untuk menaikkan kedudukan dan perlindungan hak-hak bagi perempuan dalam perkawinan. UU tersebut menetapkan bahwa perkawinan harus didasarkan pada  adanya kesetaraan anatar hak dan kewajiban baik suami ataupun istri, serta mengatur hak-hak istri dalam perkawinan, seperti adanya hak atas nafkah, hak atas perlindungan, dan hak atas pengasuhan anak. Selain itu, UU No. 1 Tahun 1974 juga mengatur bahwa poligami hanya dapat dilakukan dengan persetujuan istri dan harus dilakukan dengan adil terhadap istri-istri dan anak-anak. Asas memperbaiki derajat kaum wanita ini bertujuan untuk mencegah terjadinya diskriminasi dan penindasan serta pelecehan atau KDRT yang biasanya dilakukan terhadap perempuan dalam perkawinan karena biasanya perempua itu tidak berani untuk melapor atau mengungkapakan apa yang telah terjadi pada dirinya.

     Pada asas pencatatan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 mengarah pada ketentuan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Pasal 2 ayat (2) UU tersebut menyatakan, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Pencatatan perkawinan ini dilakukan oleh pegawai pencatat nikah atau petugas yang bersangkutan dan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait status perkawinan, adanya hak-hak, dan kewajiban yang ada dari  pelaksanaan perkawinan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun