"Seni Mendengarkan" adalah sebuah buku dengan ketebalan berjumlah 149 halaman yang ditulis oleh seorang wanita yang lahir di Semarang, bernama Muthia Sayekti. Terdiri dari 15 judul besar, buku ini bukanlah jenis buku yang berisi panduan praktis atau sistematis untuk melakukan sesuatu. Buku ini lebih masuk ke dalam kategori buku yang berisi kisah-kisah yang mengajak dan memberikan ruang kepada pembacanya untuk berdiskusi dan merefleksikan diri.
Dalam bagian pertama "Arti Penting Mendengarkan", Muthia Sayekti mengajak pembaca bukunya untuk memahami lebih jauh dan melihat "Mendengarkan" dari perspektif yang berbeda. Dalam hal ini, Muthia mengkorelasikan "Mendengar" dengan "Membaca", dimana keduanya bukan sekedar dibunyikan dan ditulis untuk didengar dan dibaca, namun juga untuk dipahami.
Dalam judul kedua, banyak menyangkut terhadap pola pikir anak dan anak muda sekarang, yang salah mengartikan independent menjadi kebebasan. Padahal makna sebenarnya dari independent adalah merdeka, dimana manusia berjalan bersama tanggung jawab yang banyak, berat, dan pastinya tidak mudah.
Kemudian dalam bagian/judul ketiga "Mendengarkan dan Konsep Pemikiran Tradisional", Muthia menjabarkan berbagai defenisi dasar dari mendengarkan, yang kemudian setelahnya Muthia mengajak pembacanya untuk memahami dan merefleksikan diri dari dua kisah yang diangkat, yang inti dari keduanya adalah untuk bisa melihat dan memahami kemungkinan-kemungkinan lainnya dari apa yang tidak didengar dan untuk tidak terpaku pada sesuatu yang hanya didengar.Â
Seperti salah satunya, kisah berjudul "Kasih Berbalas Kesah" yang menceritakan tentang konflik batin antara ayah yang mementingkan pendidikan dengan anak perempuan berusia 25 tahun yang ingin segera menikah.Â
Dimana dalam kisah ini, si ayah tidak menyampaikan seluruh maksud hatinya yang sebenarnya ingin sekali anaknya menyelesaikan terlebih dahulu pendidikannya selagi masih ada waktu dan kesempatan, sebab jika sudah menikah akan banyak hambatan yang pasti akan menghampiri.Â
Sementara si anak hanya tahu bahwa ayahnya ingin dia melanjutkan pendidikannya, itu saja. Alhasil, karena si ayah tidak mengkomunikasikan maksudnya yang sebenarnya, dan si anak tidak ingin atau tidak mampu melihat maksud lainnya dari si ayah, dan hanya terpaku pada satu hal, akhirnya terjadi kebekuan dan kerenggangan antara hubungan ayah dan anak tersebut.
Dalam bagian ke tiga belas "Salah Paham", Muthia mengajak pembacanya untuk memahami dan menyadari potensi dari kegagalan dalam mendengarkan, yang mampu menghadirkan kesalahpahaman dan ketidaknyamanan. Muthia juga mengajak pembacanya untuk merefleksikan diri yang sering menunda-nunda menyelesaikan masalah dan ogah melihat pesan-pesan tersirat yang ada, karena keegoisan dan rasa tidak enakan.Â
Padahal sejatinya, mendengarkan bukanlah proses yang sebercanda itu, tapi bukan juga sesuatu yang harus dibawa terlalu serius. Mendengarkan itu ada proses fleksibel. Seperti dalam kalimat terakhir bagian ini:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!