Mohon tunggu...
Amalya Chandra Izwari
Amalya Chandra Izwari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi saya memasak dan bersih bersih rumah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif di Sekolah Dasar

16 Oktober 2024   08:38 Diperbarui: 16 Oktober 2024   08:53 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut Lev Semenovich Vygotsky yang merupakan  cendekia  berasal dari Rusia, dia seorang ahli dalam bidang psikologi, filsafat, dan sastra. Filosofi Vygotsky yang sangat terkenal adalah mengenai manusia dan lingkungan, menurut Vygotsky 'manusia tidak seperti hewan yang hanya bereaksi terhadap lingkungan, manusia memiliki kapasitas untuk mengubah lingkungan sesuai keperluan mereka' (Schunk, 2012 : 338). Pemikiran filosofis Vygotsky mengenai manusia kemudian menjadi pelopor lahirnya teori konstruktivisme sosial yang artinya membangun kognitif anak melalui interaksi sosial. Vygotsky sangat tertarik mengupas esensi dari serangkaian aktivitas bermakna di lingkungan social-kultural dalam memperngaruhi konstruksi kognitif seorang anak.Maka dari itu pemikiran vygotsky sering disebut sebagai perspektif sosiokultural.

Asumsi dasar dari teori konstruktivisme
sosial Vygotsky adalah "What the child can do in cooperation today he can do alone tomorrow". (Warsono, 2012: 59). Apa yang dilakukan atau dipelajari anak hari ini dengan bekerja sama (kelompok) dapat diakukannnya secara mandiri pada masa yang akan datang. Menurut Vygotsky, (Arends, 2008:47) 'pelajar memiliki dua tingkat perkembangan berbeda : tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial'. Tingkat perkembangan aktual terjadi ketika ketika individu mandiri dalam menggunakan kemampuan kognitifnya secara fungsional. Selanjutnya perkembangan potensial merupakan tingkatan kognitif yang bisa dicapai oleh anak-anak melalui bantuan orang dewasa seperti guru, orang tua, atau teman sebaya yang lebih kompeten. Atas dasar asumsi tersebut, Vygotsky menyarankan agar guru bisa berkolaborasi dengan siswa serta memfasilitasinya untuk membangun pengetahuan dengan diskusi, tanya jawab, bahkan berdebat dengan teman sebaya.
Menurut Vygotsky, anak-anak pada awal perkembangannya membangun kognitifnya melalui proses mental yang rendah, contohnya yaitu persepsi sederhana mengenai suatu objek, belajar asosiatif (pengelompokkan), dan perhatian atau arahan terbimbing yang diberikan oleh orang tua sejak balita. Pengembangan kognitif berlanjut dengan proses mental yang lebih tinggi, kemampuan berbahasa, berhitung, berfikir, mengingat, pemecahan masalah, perhatian spontan, intuisi, dan skema memori dapat diperoleh dan ditingkatkan melalui interaksi sosial seperti berdialog dan bermain.

Untuk mencapai tahapan kognitif yang lebih tinggi, anak-anak sangat membutuhkan partner yang lebih berkompeten misalnya orang tua, guru, kakak, atau teman sebaya yang lebih pintar. Selain partner untuk berkolaborasi, anak-anak juga memerlukan tugas yang menantang agar membantu perkembangan kognitifnya. Melalui kolaborasi dengan orang tua dan teman sebaya serta difasilitasi oleh tugas yang menantang, anak akan memperoleh perangkat-perangkat kognitif seperti bahasa, symbol, peta, gambar, obrolan, serta pemecahan masalah. Pada saat anak terampil mengolah perangkat kognitif mereka melalui aktivitas-aktivitas social, maka peningkatan kemampuan kognitifnya pun niscaya meningkat. Menurut Ormrod (2008:57) "proses berkembanganya aktivitas- aktivitas social menjadi aktivitas-aktivitas mental internal disebut internalisasi". Dalam segala aktivitas sosialnya dengan guru, orang tua, maupun teman sebaya, anak-anak senantiasa menginternalisasikan setiap arahan yang mereka peroleh sehingga pada akhirnya mereka mampu memberikan arahan pada diri sendiri untuk menyelesaikan tugas belajarnya.

Zona of Proximal Development
Dalam membangun ZPD guru dan siswa berkolaborasi dalam sebuah penyelesaian tugas terstruktur yang menantang siswa, sehingga bantuan dari guru atau teman sebaya yang lebih mumpuni akan sangat membantu. Jika anak kemudian mampu mengatasi kesulitannya secara mandiri dengan dibantu oleh guru atau teman sebaya yang lebih mumpuni, maka bersamaan dengan itu level kognitifnya meningkat. Seorang anak akan mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi jika anak perlahan mulai dapat mengurangi ketergantungan terhadap orang lain dalam pemecahan masalah.
Schunk, (2012 : 339) menegaskan bahwa "aspek-aspek cultural-historis dari teori Vygotsky menonjolkan pemikiran bahwa pembelajaran dan perkembangan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Cara siswa berinteraksi dengan dunia mereka, orang- orang, objek, dan intuisi-intuisi di dalamnya mengubah cara berfikir mereka". Berdasarkan penjabaran mengenai aspek-aspek cultural- historis dari teori Vygotsky yang dikemukakan oleh Schunk, penulis berpendapat bahwa sudah seharusnya sekolah sebagai lingkungan sosial pedagogis mampu memberikan ruang bagi siswa untuk melakukan interaksi. Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi siswa dengan lingkungan sosial merupakan aktivitas bermakna yang akan mengkonstruk beragam pengetahuan.

Teori Vygotsky bisa diaplikasikan oleh seorang guru di dalam kelas, guru bisa menerapkan model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk berkolaborasi dengan teman sebaya dalam kelompok kecil. Salah satu pembelajaran yang memungkinkan terciptanya iklim kelas yang interaktif dan kolaboratif adalah Pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa untuk menjalin hubungan interaksi sosial dengan teman sebaya yang lebih berkompeten melalui arahan dan bimbingan dari guru. Iklim kelas dalam Pembelajaran kooperatif dapat memfasilitasi siswa dalam membangun kualitas berpikir serta membangun kultur sosialnya dalam pembelajaran berkelompok. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa teori Vygotsky merupakan salah satu teori yang melandasi pelaksanaan pembelajaran kooperatif di dalam kelas.

Sedangkan menurut Jean Piaget khususnya pada tahap operasional konkret (usia 7-11), pada tahap ini, anak-anak belajar paling baik melalui pengalaman langsung dan alat bantu visual, sehingga konsep abstrak sulit dipahami. Contohnya pada penelitian pada guru di SD Negeri 101115 Sihaborgoan secara efektif menerapkan prinsip-prinsip Piaget, meskipun mereka menghadapi tantangan seperti materi yang terlalu rumit dan kendala bahasa. Implementasi yang berhasil melibatkan penggunaan contoh-contoh yang relevan dan komunikasi yang jelas untuk meningkatkan pemahaman, sejalan dengan penekanan Piaget pada kesesuaian perkembangan dalam lingkungan belajar.

Teori pembelajaran Jean Piaget berfokus pada perkembangan kognitif anak yang berlangsung dalam empat tahap:
1. Tahap Sensori-Motorik (0-2 tahun): Anak belajar melalui pengalaman fisik.
2. Tahap Pra-Operasional (2-7 tahun): Penggunaan simbol dan pemikiran intuitif berkembang.
3. Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun): Pemikiran logis muncul, tetapi masih bergantung pada objek konkret.
4. Tahap Operasional Formal (11-15 tahun): Kemampuan berpikir abstrak dan hipotesis berkembang.
Piaget menekankan bahwa anak membangun pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi, yang memungkinkan mereka memahami dunia secara aktif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun