Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan dinaikkan 1 persen mulai 1 januari 2025 mendatang, yakni dari 11 persen menjadi sebesar 12 persen. PPN ini merupakan pajak yang kita setorkan ke negara dan nantinya akan digunakan untuk meningkatkan pendapatan negara. Kenaikan PPN menjadi 12% dilakukan dengan dalih pengesahan UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Lantas, apakah kebijakan ini efektif atau justru memperparah ekonomi negara?
Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia dengan tarif PPN 12% sudah termasuk sangat tinggi. Namun, tidak dengan beberapa negara di Eropa seperti Hungaria, Swedia, dan Denmark, yang memilki tarif PPN jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Walaupun tergolong tinggi, negara tersebut memiliki sistem perlindungan sosial yang baik mulai dari pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas tinggi. Melansir dari channel YouTube Ferry Irwandi, negara Skandinavia adalah negara dengan tarif pajak luar biasa tinggi, yakni sebesar 55 persen. Hampir lebih dari setengah penghasilan penduduk di Skandinavia dipotong pajak. Namun masyarakat disana bahagia dan tidak keberatan membayar pajak karena fasilitas mewah yang diterima oleh publiknya. Lantas, apakah Indonesia juga memiliki timbal balik seperti itu?
Pada kenyataanya berdasarkan Ekonom yang juga merupakan Director of Public Policy Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menegaskan bahwa kebijakan pajak naik dari 10 persen ke 11 persen pada April 2022 silam membuat inflasi naik melonjak dari 3,47% menjadi 4,94% hanya dalam waktu tiga bulan atau tepatnya pada Juli 2022. Jika pajak akan ditambah lagi, hal ini akan menambah beban berat kehidupan rakyat. Dengan naiknya harga barang dan jasa akibat kenaikan PPN 12 persen ini, daya beli masyarakat akan tergerus. Terlebih lagi masa sekarang merupakan masa pemulihan setelah krisis ekonomi akibat pasca COVID 19 dan inflasi yang dimana belanja masyarakat sudah mulai pulih.
Selain itu dampak ini juga berlaku bagi para pelaku usaha, terutama UMKM. Usaha mikro diprediksi akan merasakan dampak besar dari kenaikan PPN 12 persen ini. Pasalnya, mereka harus menaikkan harga produk atau layanannya, yang dimana berpotensi menurunkan daya beli konsumen.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan PPN di tahun 2025 dan mencari alternatif sumber pendapatan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan antara lain:
1. Meningkatkan efisiensi belanja negara Pemerintah perlu berhemat untuk mengurangi kebocoran anggaran. Sebaiknya perlu ditinjau kembali alokasi dana pajak sesuai sasaran.
2. Menerapkan pajak progresif Pemerintah dapat menerapkan sistem pajak progresif, di mana kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Sebaiknya kenaikan pajak harus digalakkan pada barang-barang mewah dan fasilitas mewah lainnya. Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 mempunyai tujuan strategis untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung pembangunan dan menutup defisit anggaran. Namun, sebagai pajak konsumsi, PPN bersifat regresif, Â artinya PPN lebih berdampak pada kelompok berpendapatan rendah dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H