Kasus murid melawan guru tidak hanya sekali atau dua kali terjadi di Indonesia. Pada tahun 2019 ini, media mencatat banyak sekali kasus penganiayaan baik verbal bahkan hingga penganiayaan yang dilakukan siswa terhadap gurunya.
Tak hanya kasus murid menganiaya guru, pada tahun ini juga tercatat marak sekali tawuran remaja, baik antar sekolah maupun dengan pihak lain. Hal ini bentuk nyata dari pola pikir siswa yang beranggapan bahwa kekerasan dapat menyelesaikan masalah, padahal nyatanya hanya menciptakan masalah baru.
Tawuran pelajar seakan menjadi budaya baru yang melekat pada remaja saat ini, seolah-olah hal tersebut menjadi tren yang akan membanggakan sekolah dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi, padahal realitasnya tawuran hanya akan berdampak pada pola pikir yang semakin mengutamakan kekerasan.
Selain di Ibukota, tawuran juga menjadi virus yang seolah menyebar dan merusak nama baik sekolah dengan perilaku tidak terpuji tersebut di daerah-daerah terpencil lainnya.
Hal ini merujuk pada karakter siswa yang buruk karena pengaruh dan pola pikir yang mengharuskannya untuk melakukan tawuran tersebut, meskipun dengan berbagai resiko dan dampak yang memiliki jangka panjang pada hidupnya seperti hukuman dari guru ataupun luka-luka yang akan dimilikinya.
Apabila hal ini terus menerus dibiarkan dan dianggap hal yang umum, generasi tersebut akan rusak dan melahirkan pribadi yang kasar dan tempramen, selain itu dari berbagai faktor yang menyebabkan berbagai permasalahan di dunia pendidikan Indonesia salah satunya yaitu karakter siswanya yang masih jauh dari kata baik.
Dari kasus-kasus yang tercatat di media tersebut merupakan bukti nyata bobroknya karakter murid-murid generasi penerus bangsa ini, kekerasan dan kurangnya hormat siswa menjadi keprihatinan yang seharusnya dirasakan bangsa ini.
Dilihat dari kasus penganiayaan guru yang marak pada awal tahun lalu, apabila terhadap guru yang mengajarinya saja tidak memiliki rasa hormat dan segan, apalagi terhadap orang-orang lain disekitarnya. Hal ini menimbulkan rasa prihatin sekaligus miris karena telah hilangnya sopan santun dan tata krama anak-anak yang seharusnya telah diterapkan sejak dini.
Padahal, dalam kurikulum 2013 yang sudah diberlakukan pada hampir setiap sekolah di Indonesia, pada jenjang SMP juga dirancang sehingga terdapat banyak sekali acuan-acuan mengenai penerapan pendidikan karakter yang semestinya memberi dampak dan output pada setiap siswanya.
Namun pada realitasnya, karakter siswa tidak semudah itu untuk dibentuk, dibangun maupun diarahkan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, hal ini karena beberapa faktor internal maupun eksternal yang menyebabkan karakter siswa tersebut.
Namun apa makna karakter yang sebenarnya dalam pendidikan di Indonesia?