Mohon tunggu...
Alya
Alya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Demam Bahasa Asing di Era Digital

20 Desember 2024   15:35 Diperbarui: 20 Desember 2024   15:38 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pada era globalisasi dan digitalisasi yang semakin pesat, penggunaan bahasa asing menjadi tren di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Salah satu fenomena yang paling mencolok adalah maraknya penggunaan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda. Frasa seperti "I'm so stressed" atau "It's okay, chill" sering kali digunakan dalam percakapan ringan baik secara langsung maupun di media sosial. Bahkan, beberapa iklan produk di televisi atau media digital lebih memilih menggunakan bahasa Inggris meskipun target audiensnya adalah masyarakat Indonesia. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, begitu populer? Apa yang menyebabkan masyarakat kita lebih sering menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari?

Fenomena ini tidak hanya menjadi topik pembicaraan ringan, tetapi juga menimbulkan diskusi serius di kalangan akademisi, budaya, dan bahasa. Penggunaan bahasa asing yang masif ini sering dikaitkan dengan xenoglosofilia, yaitu kecintaan berlebih terhadap bahasa asing yang melampaui fungsinya sebagai alat komunikasi. Fenomena ini memiliki relevansi besar dengan isu kebahasaan kontemporer, di mana peran bahasa asing semakin dominan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat memengaruhi identitas budaya.

Xenoglosofilia dapat didefinisikan sebagai ketertarikan yang berlebihan pada bahasa asing, sering kali disertai sikap meremehkan atau mengabaikan bahasa lokal. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tidak terlepas dari sejarah panjang kolonialisme yang menjadikan bahasa asing seperti Belanda dan Inggris sebagai simbol prestise dan intelektualitas. Kini, globalisasi memperkuat fenomena tersebut melalui media sosial dan budaya pop, di mana pengaruh budaya asing masuk tanpa batas.

Hal ini selaras dengan konsep yang dijelaskan oleh Aceng Ruhendi Saefulah dalam bukunya Semiotik dan Kajian Wacana Interaktif di Internet, yang membahas bagaimana bahasa dalam komunikasi digital, termasuk media sosial, menjadi bentuk wacana interaktif yang sering kali dipengaruhi oleh elemen-elemen asing. Buku ini mengupas bagaimana platform digital memengaruhi cara kita berkomunikasi dan memaknai bahasa, termasuk peran bahasa asing yang semakin dominan.

Menurut teori semiotika Ferdinand de Saussure, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sistem tanda yang merepresentasikan makna tertentu. Dalam konteks xenoglosofilia, penggunaan bahasa asing seperti "chill" atau "stress" merepresentasikan gaya hidup yang diasosiasikan dengan modernitas dan globalisasi. Tanda ini memberikan kesan bahwa mereka yang menggunakan bahasa asing memiliki wawasan luas, intelektual, atau bahkan kelas sosial yang lebih tinggi.

Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang kapital simbolik juga menjelaskan bahwa penguasaan bahasa asing dapat menjadi bentuk modal sosial yang memberikan keuntungan tertentu dalam masyarakat. Di Indonesia, individu yang mampu berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sering kali dianggap lebih berpendidikan dan memiliki daya saing lebih tinggi di pasar kerja. Akibatnya, penggunaan bahasa asing tidak hanya menjadi kebutuhan komunikatif tetapi juga alat untuk membangun citra diri.

Namun, fenomena ini memiliki dampak yang perlu dicermati lebih jauh. Salah satunya adalah potensi ancaman terhadap keberlangsungan bahasa lokal. Data dari UNESCO menunjukkan bahwa lebih dari 700 bahasa daerah di dunia, termasuk bahasa-bahasa di Indonesia, berada di ambang kepunahan karena minimnya penggunaan. Ketika bahasa asing terus mendominasi ruang publik dan digital, bahasa lokal berisiko kehilangan fungsinya sebagai identitas budaya.

Xenoglosofilia mencerminkan tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi. Di satu sisi, penggunaan bahasa asing menunjukkan keterbukaan terhadap budaya global dan kemampuan adaptasi yang tinggi. Namun, di sisi lain, kecenderungan ini berpotensi mengikis rasa cinta terhadap bahasa dan budaya lokal. Untuk itu, diperlukan upaya yang seimbang antara menguasai bahasa asing sebagai kebutuhan global dan melestarikan bahasa lokal sebagai warisan budaya. Pendidikan literasi bahasa yang mengedepankan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah harus menjadi prioritas agar identitas kebahasaan kita tetap terjaga di tengah arus modernitas. Sebab, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cerminan jiwa sebuah bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun