Mohon tunggu...
Lu'lu' Ailiyazzahroh
Lu'lu' Ailiyazzahroh Mohon Tunggu... -

something about me...??

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pencarian

24 September 2014   13:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Disadari, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang khusus diciptakan sebagai khalifah fil 'ardh. Allah Maha Tahu diatas segala sesuatu yang serba tahu. Itulah mengapa ketika malaikat bertanya mengenai alasan manusia diciptakan menjadi khalifah padahal merekalah yang menyebabkan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman: ''Innii a'lamu maa laa ta'lamuun, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, seperti yang tercermin dalam firman Allah; "Laqod kholaqnal insaana fii achsani taqwiim, sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Dalam diri manusia, ada unsur yang membentuk hingga menjadikannya berbeda dengan makhluk lainnya. Malaikat adalah hamba Allah yang mulia, yang tak pernah sekalipun mereka berbuat maksiat kepada Allah, yang patuh atas apa yang diperintahkan Allah kepadanya, menjauhi segala larangan yang oleh Allah memang tidak boleh untuk melaksanakannya. Setan juga makhluk Allah, yang juga taat dan patuh kepada Allah sebagaimana malaikat. Hal itu masih berlaku sebelum penciptaan Adam, manusia yang pertama diciptakan. Akan tetapi, setan kehilangan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang taat semenjak mereka menolak saat diperintah untuk bersujud kepada Adam, makhluk yang Allah ciptakan dari tanah liat. Kesombongan dan perasaan bahwa dirinyalah makhluk ciptaan Allah yang paling baik yang membuat mereka diusir dari surga dan menyandang identitas baru sebagai hamba yang ingkar.

Memang, dalang dari segala kerusakan di bumi adalah manusia itu sendiri. Karena dalam perjanjiannya, setan tidak akan rela bila manusia selalu berbuat kebaikan dan meninggalkan dosa. Setan berjanji akan selalu mengganggu dan menggoda anak cucu Adam hingga mereka sesat dan akhirnya menjadi teman mereka di neraka. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa manusia oleh Allah dibekali dengan akal dan hawa nafsu yang menyetir mereka dalam melakukan segala sesuatu. Akal diciptakan agar manusia itu berfikir tentang ke-Esaan dan ke-Agungan Allah lewat ciptaan-Nya. Tak usahlah berfikir tentang Dzat Allah jika memikirkan apa yang telah Allah ciptakan saja tidak kita lakukan. Itulah salah satu sarana untuk kita bisa mengenal Dzat Yang Maha Sempuran, yang jauh lebih sempurna dari manusia yang diklaim sebagai makhluk yang paling sempurna. Karena sesungguhnya, kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya, Dzat Yang Menciptakan Manusia.

Manusia oleh Allah diberi kebebasan untuk memilih. Menjadi hamba yang taat atau menjadi hamba yang ingkar. Karena manusia memiliki hawa nafsu yang selalu menuntunnya menuju kesesatan, sedangkan akal yang berfungsi untuk mengstagnansikan manifestasi dari hawa nafsu itu sendiri. Akal dan hawa nafsu tak pernah sekutu. Mereka selalu berseteru dan berlomba-lomba untuk menjadi pemenang. Siapa yang menang, dialah yang akan menjadi tuan, sedangkan manusia adalah budak yang senantiasa patuh terhadap tuannya.

Dalam mengenal Tuhannya, fase pertama yang harus dilakukan, --sebagaimana yang saya baca dalam buku karangan Candra Malik, Makrifat Cinta-- adalah sejatinya manusia itu harus mengetahui dirinya sendiri. Man 'araf nafsahu, faqad 'arafa rabbahu, barang siapa mengenal dirinya sendiri, maka ia mengenal Tuhannya. Untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, hingga sampai pada taraf dimana manusia merasa bergetar dan kerdil dengan dirinya sendiri tatkala nama-Nya terucap dan terdengar oleh telinga, maka awal yang harus dilakukannya adalah penyempurnaan kalimat syahadat. Yang bukan hanya sekedar kesaksian, tetapi juga persaksian. Yang merupakan segenap persaksian yang tidak bisa tidak, melibatkan pendengaran dan pengucapan sebagai penyaksi; mengerahkan jiwa dan raga; mempertaruhkan dan menyerahkan hidup dan mati, kepada yang dipersaksikan, yakni Allah Swt dan Muhammad Saw.

Syahadat adalah sebagai pondasi keimanan manusia, dimana ia berada pada tahap paling dasar dan mendasar sebagai awal perjalanan manusia mangenal Tuhannya. Pondasi, yang akan menyangga bangunan yang dibangun diatasnya, pada kenyataannya haruslah kokoh dan menancap kedalam bumi. Dibangun dengan desain sebaik mungkin, sekiranya bisa menyangga dan tidak mudah retak bila menjumpai goncangan yang berasal dari luar dirinya. Assholatu 'imadud din, shalat itu adalah tiang agama. Maka dalam bangunan ini, shalat berperan sebagai tiang yang berada diatas pondasi, dan puasa adalah dinding keimanannya. Sedang zakat adalah sarana keluar masuk yang mana dalam gambaran bangunan aslinya berupa jendela, pintu, juga ventilasi-ventilasi sebagai jalan keluar-masuknya udara. Akan lebik sempuran bilamana bangunan tersebut dilengkapi dengan atapnya, yakni kewajiban berhaji bagi siapa saja yang kuasa untuk menjalankannya. Itulah bangunan keislaman yang apabila termaktub dalam diri seseorang, yang apabila tersusun sedemikian rupa hingga menjadi sebuah bangunan megah, kokoh, tahan dengan segala goncanagn, cuaca, panas terik, angin badai, juga hujan deras, maka itulah sebenarnya rukun islam yang mengantarkan manusia untuk mengenal Rabbnya.

Pencarian manusia tentang Rabbnya tidak berhenti sampai disitu. Sadarilah, bahwa sesungguhnya manusia itu tidak ada sebelum adanya. Manusia berasal dari ketiadaan sebelum ia menjadi ada. Ketahuilah, tak ada yang Maha Ada sebelum adanya kecuali Allah semata. Allah tidak pernah tidak ada. Karena kata tidak ada tidak pernah berlaku bagi Allah. Allah Maha Ada. Hanya saja, tidak ada hal yang bisa merefleksikan tentang keadaan-Nya. Bukan tidak ada, melainkan tidak ada yang cukup untuk menunjukkan tentang keadaan-Nya. Karena bila seluruh lautan menjadi tinta, dan segala macam pepohonan yang ada di muka bumi sebagai kertasnya, maka itu tidaklah cukup bagi Allah. Karena apa yang kita ketahui, hanyalah satu tetes dari sekian banyak air yang ada di seluruh bumi. Tak akan pernah cukup untuk menunjukkan semuanya.

Tanpa ibu, manusia tidak akan lahir di muka bumi ini. Tidak akan ada yang namanya manusia jika tidak ada seorang ibu yang telah melahirkannya. Meskipun dalam kasusnya, ada juga manusia yang terlahir tanpa perantara keduanya. Merekalah Adam, Hawa dan Isa putra Maryam. Tentu mereka adalah pengecualian karena Adam adalah manusia pertama yang Allah ciptakan dari tanah, Hawa adalah perwujudan dari Adam yang Allah ciptakan dari tulang rusuknya, sedangakan Isa oleh Allah diperkuat dengan Roh Kudus. Adam tidak mempunyai ayah dan ibu. Begitu juga Hawa, ia tidak terlahir dari rahim seorang ibu, tetapi dari tulang rusuk Adam. Sedangkan Isa hanya mempunyai ibu, terlahir tanpa ayah biologis dan hanya dari seorang ibu. Karena dalam sepengetahuan kita sesungguhnya tidak mungkin seorang lelaki bisa melahirkan anak manusia, karena lelaki tidak memiliki rahim sebagaimana wanita. Mungkin itulah mengapa Allah menempatkan wanita tiga tingkat lebih tinggi dari lelaki. Karena perjuangan wanitalah manusia bisa berada di bumi, karena wanita rela bertaruh nyawa demi sang bayi. Sampai-sampai ada hadits yang mengatakan bahwa sesungguhnya surga itu berada di bawah telapak kaki ibu. Karena saking besarnya pengorbanan seorang ibu.

Pelajaran dalam mengenal diri sendiri dibangun dalam empat pilar, yang satu dengan lainnya harus sama berdiri dan tidak boleh saling merobohkan. Keempatnya adalah Syariat, Tarikat, Hakikat, dan Makrifat. Syariat adalah jalan, setiap jalan yang benar menurut pejalannya. Tarikat adalah cara berjalan, baik itu meliputi berjalan kaki, menunggang kuda, menaiki kendaraan, atau bahkan naik pesawat sekalipun. Setiap cara berjalan yang kita tempuh mempunyai konsekwensi, resiko dan kelebihan serta kekurangan masing-masing. Syariat adalah jalan, tarikat adalah cara berjalan, maka hakikat adalah alamat perjalanan dan makrifat adalah tujuan perjalanan. Setiap segala sesuatu pasti mempunyai tujuan masing-masing. Dan tujuan agung dari perjalanan manusia mengenal dirinya adalah ia bisa mengenal Tuhannya sebagaimana ia mengenal dirinya sendiri. WALLAHU A'LAM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun