Aku berjalan santai melewati lorong sekolah. Kali ini suasana sepi karena aku lebih memilih untuk berangkat pagi-pagi. Hanya ada beberapa genlintir murid dan pak satpam yang sudah stand by sedari tadi.
Udara pagi memang yang terbaik. Sejak semakin panasnya bumi karena global warming, sudah jarang aku menghirup udara bersih seperti ini.
“Hai...!” sapa Ipung, teman sebangkuku.
Aku tersenyum membalasnya.
“Hoho, rambut baru ya kawan. Sejak kapan kamu jadi penggila mode kayak gini”
Aku berhenti melangkah, tertarik pada apa yang dikatakannya. “Bukankah sudah setiap hari aku menggunakan model rambut seperti ini? Dasar memang kamunya aja yang kurang perhatian”
Ia mengernyit, “Hoho... kamu meragukan ingatanku ya. Memang jelas-jelas kamu yang baru pertama kali berpenampilan seperti itu”
“Ralat nih, sudah semenjak aku lahir ya memang penampilanku seperti ini, nggak ada yang berubah. Memangnya ada yang salah?”
Ia geleng-geleng kepala. “Kayaknya kamu lebih ganteng dengan penampilan seperti itu, kayak Justin Bieber. Haha...”
Aku kembali mengernyit, “Kayaknya kamu yang mesti masuk panti rehabilitasi. Ingatanmu tuh yang kacau” ucapku sambil berlalu. “Sejak kapan aku mirip Justin Bieber?” aku melangkah menuju bangkuku. “Dasar aneh!”
Aku melangkah dengan sedikit kesal. Pagi-pagi sudah ada yang mengkontaminasi suasana hatiku. Apa? Justin? Haha... ada-ada saja. Berarti aku ganteng dong.
Rumus-rumus fisika hari itu sama sekali tidak ada yang kutangkap dalam ingatan. Berkali-kali aku dibuat bingung dengan pernyataan teman-temanku. Apa ada yang salah dengan diriku?
“Kamu kayak Justin” ucap Rena, sekretaris kelas.
“Terimakasih” aku menjawab bingung. Meksipun begitu, tetap kupaksakan untuk tersenyum.
Di depan pintu kelas, aku berpapasan dengan Budi. Ia membawa setumpuk buku pelajaran dari perpustakaan, tampaknya ia sangat kesusahan sekali.
“Mau kubantu Kawan?” tawarku kepadanya.
“Oh, tidak usah. Terimakasih. Nanti penampilan kamu berantakan” ucapnya sambil berlalu.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal, “Memangnya ada yang salah dengan penampilanku?” tanyaku penasaran. Kuharap kali ini Budi tidak menjawab aneh-aneh seperti temanku yang lain.
“Kamu mirip Justin Bieber” jawabnya singkat sambil berlalu ke dalam kelas.
Aku bingung dengan jawabannya. Masih dengan kondisi terpaku, kulirik kaca jendela yang ada di sampingku. Samar-samar, meskipun tidak begitu jelas, dapat kulihat wajahku. Apa? Justin Bieber?
Kaca di hadapanku menampilkan sosok wajah yang ku kenal. Itu aku. Aku. Aku dan bukan Justin. Ah, teman-teman ngelindur mungkin. Lega karena wajah yang ada di dalam kaca itu masihlah wajahku, aku berjalan santai menuju kantin sekolah.
“Hai... tumben kamu ganteng banget. Kayak Justin, hehe” kali ini Mawar yang mengatakannya padaku. Ah, gadis cantik nan pendiam itu bisa juga memuji diriku. Aku tersenyum kikuk menghadapinya.
“Oh, terimakasih” jawabku sambil bersemu merah. Ekspresi wajahkku lebih pada kebingungan dari pada sekedar bahagia karena aku telah dipuji ganteng olehnya. Kembali ku cari kaca yang ada di sekitarku. Aku mematut diri di depan cermin itu. Agak lama. Tak ada yang aneh dengan wajahku. Wajah itu masih tetap wajah yang kukenal selama ini. Tak ada yang berubah. Karena wajah itu masihlah tetap wajahku.
Aku berjalan dengan kondisi yang masih kebingungan. Ada apa dengan mereka? Ataukah memang aku yang salah?
Ah, masa bodoh!
Hari-hariku kali ini kulalui dengan penuh kejanggalan. Meski frkuensinya tak sesering dulu, tapi tetap saja masih ada yang mengatakan bahwa aku mirip Justin. Mereka yang salah ataukah memang otakku yang terbalik? Ataukah dunia kali ini memang benar-benar terbalik. Aku heran, kualifikasi apa yang bisa dimiliki lelaki sepertiku untuk bisa dikatakan mirip Justin Bieber? Aku memang tidak jelek, tapi nampaknya sedikit kurang afdol jika dikatakan tampan. Tengah-tengah lah, lumayan enak dipandang.
Di pagi yang sama, masih dengan rutinitasku sebagai siswa, aku berjalan santai di koridor sekolah. Sepi. Karena aku memilih untuk berangkat pagi-pagi. Hanya beberapa orang saja yang sudah datang pagi itu.
Aku tersenyum mendapati si Ipung sudah duduk manis di atas bangku kelas.
“Hai...” sapaku. Ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan rutinitasnya menulis. “Tumben rajin kamu?”
“Rajin menyalin PR” katanya datar. Ia tak berekpresi apapun, hanya melihatku sekilas dan kembali meneruskan pekerjaannya.
“Hanya itu?” tanyaku penasaran. Ia sedikit terusik dengan aku yang mulai berisik.
“Apa lagi?” tanyanya sebal.
“Tak ada yang mau kamu katakan tentang penampilan baruku?”
Sejenak ia berhenti dari rutinitas menulisnya, melihatku, menyisir dari ujung rambut hingga ujung kaki. Matanya masih awas memandangi. Kulihat sorot mata itu sedikit heran melihatku. Lalu di detik berikutnya, kulihat ia mulai menggelengkan kepalanya. Heran dengan penampilanku.
“Kamu aneh! Sejak kapan kamu ikut-ikutan berpenampilan ala artis hollywood itu?”
“Sejak kapan?” tanyaku heran. “Bukankah dari kemarin kamu mengatakan kalau aku mirip Justin Bieber?” aku semakin heran.
Ia tersenyum. Atau tertawa? Atau bahkan tertawa mengejekku? Ah entahlah! Aku tersinggung sekali dengan senyuman itu. Sengaja rupanya ia mencelaku. Mentang-mentang aku mirip Justin Bieber.
“Justin Bieber dari Hongkong? Ngaca sono, tuh ada kacanya si Rena di lacinya” ia menujuk bangku yang ada di hadapanku.
“Nggak perlu! Bahkan Rena mengatakan kalau aku mirip Justin Bieber”
Ia semakin tertawa. Aku semakin bingung. “Kalian yang aneh. Dari kemarin mengatakan kalau aku mirip Justin Bieber, makanya aku berpenampilan seperti Justin Bieber sungguhan”
Kali ini dia menatapku seakan aku alien yang datang dari gakalsi Andromeda. Matanya membelalak sudah sebesar jengkol.
“Halusinasimu itu komplit sekali ya?”
“Aku tidak berhalusinasi, jelas-jelas kalian yang mengatakan kalau aku mirip Justin Bieber. Aku hanya merealisasikan apa yang kalian nyatakan. Itu saja!” kali ini aku berbicara dengan nada tinggi. Pagi-pagi sudah membuatku kesal.
Beberapa saat si Rena datang. Ia terlihat aneh melihaku dan Ipung.
“Hai Ren! Bisa pinjam kacamu bentar?” pinta Ipung.
Rena terlihat bingung, tapi ia mneurut saja. Diserahkannya kaca itu dengan ekspresi datar-datar saja. “ Sejak kapan kamu suka berkaca?”
“Bukan aku. Tapi dia nih keukeuh bilang kalau dia mirip Justin Bieber”
Rena hanya tersenyum sesaat. Mulutnya menyungging senyum kecut. “Pikiran anak zaman sekarang sudah aneh-aneh saja. Kamu terkontaminasi virus apa?” ia menatapku. Dari nada suaranya jelas sekali kalau ia menghakimi.
“Hei hei, bukankah kemaren kamu juga mengatakan kalau aku mirip Justin?”
“Oh Tuhan, makan apa sih nih anak? Tidak ada yang salah kan dengan otakmu? Nampaknya kamu harus pergi ke terapis kalau gini”
“Tidak ada yang salah dengan diriku, kalianlah yang mengatakan kalau aku mirip Justin” aku masih tetap dengan pendirianku.
Beberapa siswa mulai berdatangan. Suasana kelas sudah mulai ramai. Rena kembali duduk di bangkunya yang tepat berada di depan bangkuku. Dari ujung pintu kulihat si Mawar. Aku melambaikan tangan. Dia terlihat bingung dengan isyarat yang kulakukan. Ia menujuk dirinya sendiri sambil membuat ekspresi wajah yang seolah mengatakan “Kamu menunjukku?”
Aku mengangguk. Terlihat ganjil memang. Selama ini aku tidak terlalu dekat dengan Mawar. Dia gadis cantik dan pendiam yang membuat semua orang sungkan untuk menyapanya.
“Ada apa?” tanyanya.
Ipung masih asyik menyalin PR-nya. Kusenggol tangannya. Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa pendapatku tidak salah. Teman-temanlah yang mengatakan bahwa aku mirip Justin Bieber. Dan aku mau membuktikan bahwa Mawar juga mengatakan hal yang sama. Mungkin si Ipung akan percaya. Karena gadis seperti Mawar bukanlah tipe gadis yang suka berbohong dan hampir semua orang akan percaya kepadanya. Tipe gadis alim dan pendiam.
“Kemarin kamu mengatakan kalau aku mirip Justin kan?” tanyaku meyakinkan.
Ia mengernyit sesaat, terlihat bingung dengan apa yang kukatakan. Kulihat Ipung, aku menatapnya dengan pandangan meyakinkan. Ah, si Mawar tidak akan bohong. Dia akan mengatakan yang sebenarnya. Dia akan jujur bahwa dia pernah mengatakan aku mirip Justin Bieber. Kali ini aku menang. Aku akan menunjukkan kepada Ipung bahwa aku tidak salah. Dialah yang ada yang salah dengan otaknya.
Beberapa detik aku menunggu. Kulihat ekspresi Mawar yang tidak bisa ditebak. Ia terlihat sedikit menyungging senyum. Aku masih menunggu dengan harap-harap cemas. Bagaimana kalau dia berbohong. Tapi dia tidak mungkin berbohong.
“Maaf ya, aku rasa aku tidak pernah mengatakan hal itu” ucapnya sambil berlalu.
Sementara aku masih menganga heran, si Ipung terlihat tertawa terpingkal-pingkal. “Nanti siang aku antar kamu ke guru BK. Nampaknya memang ada yang benar-benar salah dengan otakmu”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H