Mohon tunggu...
Lu'lu' Ailiyazzahroh
Lu'lu' Ailiyazzahroh Mohon Tunggu... -

something about me...??

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hukum dalam Perspektif Kita

22 Desember 2014   14:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu, media informasi sempat digegerkan dengan munculnya video cambuk di sebuah jejaring sosial yang berasal dari salah satu pesantren di daerah Jombang. Dalam video yang berdurasi 5 menit 21 detik tersebut memperlihatkan tiga orang santri yang terikat di sebuah pohon dengan mata tertutup yang dipukuli dengan sebuah rotan di hadapan puluhan santri lainnya. Konon, setelah diselidiki oleh pihak yang berwajib, video tersebut terjadi kira-kira pada tahun 2010 silam. Seseorang yang bernama Agus tidak sengaja menemukan video itu di memory card-nya dan mengunggahnya ke sebuah situs jejaring sosial. Melalui video itu, khalayak ramai sangat dihebohkan dengan adanya hukum cambuk yang berada di salah satu pesantren yang syarat akan agama tersebut. Beritanya langsung santer menyebar ke seluruh netizen dan penjuru Indonesia. Pihak yang berwajib segera menangani dan memeriksa kasus ini. Beberapa korban dan pihak yang melakukan hukum cambuk juga masih belum diketahui dengan jelas identitasnya. Beberapa mengatakan bahwa mereka sudah lulus dan tidak berada di pesantren itu lagi. Karena kejadiannya telah lama berlalu, pihak Kaporles masih mengumpulkan beberapa bukti untuk memutuskan apakah kasusnya bisa masuk ke ranah hukum atau tidak. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan dan mengumpulkan bukti, diketahui bahwa hukuman cambuk tersebut merupakan kesepakatan dengan santri, dan dalam kasus ini tidak ada unsur kekerasan sama sekali kecuali agar membuat santri tersebut jera. Maka dari itu, kasus ini tidak bisa masuk ke ranah hukum karena tidak ada korban yang melapor sama sekali.

Hukum cambuk atau dera atau jilid merupakan salah satu hukum yang ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci Al-Qur’an. Hukuman ini berlaku kepada para pelaku zina ghairu muhshan baik lelaki maupun perempuan (yang belum menikah) dengan jumlah 100 kali cambuk (QS. An-Nur: 2). Hukuman ini juga dikenakan sebanyak 80 kali cambuk kepada penuduh orang berzina, tetapi tidak sanggup menghadirkan empat orang saksi dengan bukti nyata (QS. An-Nur: 4).

Mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam, bahkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Meski seperti itu, tidak semua hukum yang ditetapkana dalam Islam berlaku di Indonesia, seperti hukum qisas dan potong tangan misalnya. Tidak seperti di negara Arab yang memberlakukan hukum tersebut, Indonesia adalah negara yang syarat hukum dan negara hukum. Segala kejahatan yang terjadi di dalamnya harus melalui ranah hukum untuk diputuskan oleh Hakim apakah hal itu patut dikatakan sebagai tindakan kriminal atau tidak.

Mungkin kasus hukum cambuk yang terjadi beberapa waktu lalu cukup menggegerkan warga dan netizen, khususnya masayarakat di sekitar Jombang sendiri. Seharusnya kita tidak menutup mata dengan kejadian itu. Dahulu, dan sudah dalam jangka waktu yang lama, kita sudah tahu bahwa di Aceh juga terdapat hukum tersebut. Aceh merupakan bagian dari negara Indonesia, namun disini, diberlakukan hukum secara khusus, yakni hukum-hukum seperti yang berada dalam syariat Islam. Siapapun masyarakat Aceh, yang muslim dan melanggar syariat Islam, maka akan dikenahi hukum sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat Islam.

Itu Aceh, dan merupakan beberapa pengecualian di Indonesia dari negara hukum. Ketika kita sudah melangkah dalam kata “pesantren”, maka yang terbersit dalam pikiran kita adalah sebuah lembaga dakwah Islam yang didalamnya berkumpul orang-ornag sholeh dengan niat sempurna untuk mengajarkan ilmunya. Pesantren, menurut asal katanya berasal dari kata ”santri” yang mendapatimbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik (Zarkasy, 1998).

Pesantren di Jawa sudah menjamur dan termasuk salah satu wujud budaya Islam yang ada di Jawa. Bahkan mayoritas orang Jawa pernah “nyantri”. Sebagai sebuah lembaga yang mengajarkan tentang ilmu-ilmu agama, pastinya di dalamnya terdapat struktur yang menjadikan pesantren itu tetap ada. Semisal, sebuah pondok pesantren pasti dipimpin oleh seorang pengasuh yang biasa disebut Kyai. Terlepas dari struktur, pesantren juga terdapat ketentuan atau peraturan-peraturan yang harus dipatuhi. Karena hidup di pesantren tidaklah seorang diri, maka siapapun yang melanggar peraturan itu pasti akan dikehani sanksi. Sanksi itu bermacam-macam bentuknya, ada yang disuruh membersihkan masjid, menguras bak mandi, dan untuk kasus yang paling berat bisa sampai dikeluarkan. Semua sanksi tersebut tergantung kesepakatan dari pihak pesantren dan santri.

Saat ini, akan menjadi tabu jika seornag guru memukul muridnya hanya karena melanggar sesuatu. Anggapan ini berbeda dengan eksistensi guru di zaman nenek moyang kita dulu. Guru adalah digugu dan ditiru. Maka segala sesuatu yang keluar dari lisannya adalah petuah dan nasihat-nasihat yang harus diindahkan. Murid akan dengan senang hati jika seorang guru menghukumnya atau bahkan memukulnya, hal itu karena menurut mereka adalah barokah.

Zaman sudah berubah, bukan lagi terkungkung dalam era diktator yang segala sesuatunya harus diperintah oleh atasan. Kini semuanya sama, hak dan juga asasi manusia. Maka dari itu, akan tabu jika terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada muridnya, meskipun hal itu untuk menimbulkan maksud jera. Bisa saja hal itu dilaporkan dengan tuduhan tindakan kriminal misalnya.

Semuanya dilihat dari sudut pandang berbeda. Hukum cambuk yang terjadi dalam video tersebut, jika hal itu dilakukan atas dasar sukarela, maka apakah hal itu patut dikatakan sebagai tindakan kriminal, sementara yang menjadi korban diam saja tidak melapor dan tidak merasa menjadi korban.

Semuanya kembali pada kita. Baik tidaknya segala sesuatu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Bisa jadi hal itu baik menurut kita, akan tetapi buruk menurut mereka. Begitu pula sebaliknya.

Zarkasyi, Amal Fathullah. 1998. Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah. Jakarta: GIP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun