Mohon tunggu...
Lu'lu' Ailiyazzahroh
Lu'lu' Ailiyazzahroh Mohon Tunggu... -

something about me...??

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Desember

19 Desember 2014   11:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semuanya terasa baik-baik saja dan biasa saja sebelum kejadian itu ada. Aku menjadi semacam sosok yang terlalu paranoid dengan sesuatu dan cenderung sensitif. Kejadian itu sukses merubah seluruh hidupku.

Jika ada hal yang lebih realistis untuk dijadikan alasan membenci sesuatu, maka kupikir itu adalah hal yang cukup realistis. Hampir tujuh tahun kulalui paruh tahun terakhir dengan perasaan yang tak kumengerti. Ada semacam sixth sense aneh bin ganjil yang sulit diterjemahkan. Maka, ketika bulan Juli dan Agustus, adalah bulan-bulan terindahku. Bagaimana tidak, aku adalah sang pemuja angin. Di bulan-bulan itulah angin pancaroba datang menggoyang bumi tanpa ampun, dan aku menyukainya.

Maka, ketika malam hari, siang hari, sore hari, atau bahkan pagi hari, aku selalu membentangkan kedua tanganku, kupejamkan kedua mataku, menikmati kehadiran anginnya. Banyak yang menertawankan rutinitasku itu, norak kata mereka. Aku sih, masa bodoh! Yang penting aku menikmatinya.

Bulan-bulan emasku itu hanya terjadi sebentar saja. Dan ketika awan hitam sudah menggelayut di atas sana, aku tahu, itu adalah pertanda bahwa hari senangku akan segera berlalu.

Desember!

Bisa dibayangkan bagaimana kondisi cuaca saat itu. Aku menjadi sebal sendiri karena tiba-tiba saja tak dapat kunikmati angin musim kemarau yang sangat kusukai. Dengan seenaknya sendiri, langit tiba-tiba mulai mengkhianatiku. Baru beberapa saat lalu masih terang-benderang, tanpa diduga, seakan ada selimut hitam yang membentang, suasana menjadi sangat gelap sekali. Beberapa saat setelah fenomena aneh itu, muncul titik-titik air yang jatuh dari langit. Mereka menyebutnya hujan.

Hujan?

Aku menjadi heran. Bukan hanya aku, bahkan ibukupun menjadi heran. Di saat anak seusiaku sukanya main hujan-hujanan, maka lain lagi dengan diriku.

“Nak, kenapa tidak main di luar sana?” tanya ibu suatu ketika.

Aku menggeleng, “Aku tidak suka hujan, Ibu”

Aku sangat mebenci hujan. Justru aku heran dengan mereka. Ditengah cuaca yang sedang menggila, ditambah dengan hujan yang turun dengan derasnya, ditemani ganasya suara petir dan kilat yang menyambar, apa yang membuat mereka bertahan kedingingan di tengah hujan?

Main? Bersenang-senang? Bukankah ada mainan yang lebih menyenangkan daripada sekedar hujan?

Aku hanya duduk termenung memandangi hujan yang tak kunjung berhenti. Dengan pelan, dapat kuhirup aroma itu. aroma tanah basah yang merebak dari mana saja. Sesekali kilat menyambar membuatku menggigil ketakutan. Dengan gerakan sekali sentak kututup korden dan beringsut menjauh dari sana, aku lebih memilih meringkuk dibalik selimut. Brr...

***

Desember!

Sekali lagi aku terperangkap dalam bulan ini. Tahun kesekian semenjak aku tidak menyukai hujan.

Seharian ini hujan tak kunjung berhenti mengguyur bumi. Seharian ini aku tidak keluar rumah sama sekali. Rutinitasku hanya berlangsung didalam rumah saja.

Sekali lagi kucium aroma tanah basah yang merebak dari luar sana. Aku merasa bosan dengan semua. Maka, kucoba untuk membuka hati dan memulai lembaran baru, dengan mencintai hujan misalnya. Beberapa hari Ayahku jatuh sakit, dan ibu hampir setiap hari menemani Ayah, membuatku menjadi semakin bosan karena tidak ada teman bermain.

Pelan, kubuka kusen jendela kamarku. Bau tanah basah itu semakin tajam menusuk hidung, beberapa titik air menerpa wajahku, membuatku mengerjap kedinginan. Kubentangkan tanganku, aku berusaha menikmatinya seperti aku menikmati anginnya. Ah! Seperti ini rasanya, tubuhku semakin basah terkena cipratannya.

Lalu, beberapa saat yang dirasa singkat, muncul suara petir yang menggelegar membuatku tersentak seketika. Suara itu sangat keras sekali, aku sampai ngeri mendengarnya. Suara petir itu...

Dua detik berikutnya aku merasa ada yang janggal, suara petir itu, suara itu, suara ibuku...

Aku berlari seketika menuju kamar Ayahku. Kakiku lemas seketika, dan aku langsung jatuh menggelosor ke tanah. Ibuku menangis terisak sambil memegang tangan Ayah yang mulai dingin.

Di luar, petir menyambar disertai kilat. Suara deru air hujan yang turun berlomba-lomba dengan suara tangis ibuku. Kala itu usiaku dua belas tahun, tujuh tahun lalu awal kronologiku mulai membenci hujan, membenci awan hitam, dan Desember.

***

Desember!

Tujuh tahun setelah kematian Ayahku. Tujuh tahun aku terperangkap dalam bulan yang sangat kubenci. Aku terperangkap di dalamnya, oleh waktu yang aku tak dapat berlari darinya, oleh waktu yang mau tidak mau aku harus berada di dalamnya. Aku bisa lari dari tempat, tapi aku tidak bisa lari dari waktu.

Maka ketika hujan dan kilat menyambar, aku menjadi ketakutan setengah mati, ketakutan yang sangat, yang tak dapat kudeskripsikan dengan apapun. Aku berusaha bersembunyi darinya, namun aku tak bisa. Aku meringkuk dibalik selimut, namun aku menjadi semakin gila karena masih dapat kudengar suara petir itu, suara menggelegar yang mengingatkanku dengan jeritan suara ibuku, di malam kematian Ayahku.

Teman kosku lari terbirit-irit karena mengira aku kesakitan. Ia khawatir, namun kukatakan bahwa aku baik-baik saja dan hanya takut terhadap hujan.

Tujuh tahun kulewati dengan ketakutan yang seperti itu. Ketika aku kecil dulu, beberapa tahun setelah kematian Ayahku, ibuku selalu menemani saat-saat dimana turun hujan. Aku menangis, menjerit, dan tak ingin mendengar suara petir itu.

Mengapa bulan Desember? Bukankah musim hujan terjadi selama paruh tahun terakhir?

Di bulan itulah aku mulai membenci hujan. Ibuku sangat khawatir dan membawaku ke seorang psikiater. Disitulah diketahui bahwa aku menderita ombrophobia (fobia terhadap hujan).

Tahun-tahun setelah itu masihlah sama, masih berlalu dengan ketakutanku terhadap hujan, terhadap suara petir yang mengerikan. Tujuh Desember kulalui dengan penuh perjuangan. Bersyukur karena ada ibu yang selalu mendampingi proses penyembuhanku.

Tujuh Desember sudah kulalui. Tujuh Desember penuh perjuangan, tujuh Desember yang menyiksa. Tujuh tahun sudah aku berusah keluar dari ketakutanku.

***

Sore ini turun hujan. Bau tanah basah yang tajam menusuk hidung. Petir dan kilat berlomba-lomba menyambar bumi. Beberapa anak kecil bermain-main di pelataran rumah mereka, tertawa lepas, riang, dan tanpa beban.

Masih deras. Nampaknya, hujan kali ini akan turun lebih lama, begitu kata ramalan cuaca yang kulihat di televisi. Pelan aku melangkah. Kubuka pintu, dengan sigap hujan angin menyambutku. Langkahku ragu, namun pasti. Kuberanikan diri, kutekadkan bahwa aku bisa. Aku bisa melewati semua. Detik berikutnya terdengar bunyi guntur yang seakan membelah langit. Aku takut, namun hanya sesaat, karena di detik berikutnya, kakiku melangkah. Aku berlari, pelan bibirku menyungging senyum. Kubentangkan tanganku, kupejmakan kedua mataku, pelan kunikmati setiap tetesan yang turun dari sana. Kuhirup bau tajam tanah basahnya.

Hujan. Seperti inikah?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun