Mohon tunggu...
Lu'lu' Ailiyazzahroh
Lu'lu' Ailiyazzahroh Mohon Tunggu... -

something about me...??

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara yang Tak Berbunyi

2 Desember 2014   17:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:14 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Luka itu semakin menganga. Bertahun lamanya, adalah sebuah penantian tak berujung yang memaksanya untuk menghitung waktu tanpa diminta. Sudah tak terhitung, tak terhitung berapa banyaknya hari yang berlalu tanpa adanya bukti nyata tentang kepastian yang telah dijanjikan kepadanya. Hatinya sakit, hatinya mejerit dengan segala ketidak-adilan—yang entah sejak kapan—oleh orang lain malah tak pernah dihiraukan. Ia sudah lama terkurung dalam tubuh yang menyiksanya. Ia telah lama terbelenggu oleh tirai kasat mata yang memaksanya tersisih dari kebanyakan manusia. Orang lain mengatakan bahwa ia tidak sama dengan kebanyakan orang. Keterasingan adalah satu-satunya teman yang dimilikinya.

Ia telah lama menjerit, protes dengan dunia yang telah memperlakukan dia dengan tidak adil. Tapi percuma, apa yang dikatakannya adalah tak lebih dari sekedar bualan tak berarti menurut kebanyakan orang. Perkataannya adalah sampah, apa yang dilakukannya adalah gerakan mengganggu yang memaksa setiap orang yang berada di sampingnya untuk pergi menjauh. Sekali lagi, karena hal itu, ia menyendiri.

Tembok kusam itu adalah teman. Derap langkah kaki adalah senandung pilu yang membuat ia sadar bahwa keberadaanya adalah sebuah keburukan. Sekali lagi ia meronta, sekali lagi ia protes. Tapi percuma, jeritannya seolah terkunci dalam sebuah ruangan kosong tak berpenghuni yang tidak ada orang yang peduli. Ia hidup dalam kekosongan.

Ia iri dengan anak kecil yang berlari lincah tanpa beban. Itu akan berbeda ika ia yang berlari. Maka pasti orang lain akan lari terbirit-birit seolah ada hantu yang mengejarnya. Ia iri dengan kicauan burung kenari. Hanya dengan berkicau, maka manusia akan senang dengan suara-suara burung yang tak berirama itu. Namun itu akan berbeda jika ia yang bernyanyi. Maka pasti orang lain akan tertawa terbaha-bahak dan mencerca dia untuk segera menyudahi lagunya itu.

Ia meronta, sekali lagi ia protes kepada dunia. Tapi percuma, segala apa yang ia katakannya adalah tak lebih dari sekedar sampah. Andaikan ada alat ukur yang bisa digunakan untuk mengetahui seberapa banyak jerit batin yang ada pada dirinya, maka pasti itu sudah tak dapat ditampung lagi karena saking banyaknya.

Suatu hari, hatinya sudah tak dapat menampung lagi terhadap apa yang ada pada dirinya. Ia protes, ia meronta pada dunia tentang ketidak adilan selama ini. Ia menjerit sekeras yang ia bisa. Namun semua orang malah mengikat kaki dan tangannya. Ia semakin menjerit, ia semakin meronta, karena menurutnya itu semakin tidak adil baginya. Ia adalah manusia, ia juga terlahir seperti kebanyakan bayi yang lainnya, namun kebanyakan manusia memperlakukannya beda. Ia terisolasi, ia tersisih dari dunia sosial di sekitarnya.

Berhari lamanya ia meronta. Berhari lamanya ia menjerit. Berhari lamanya ia protes. Namun tanggapan sosial di sekitarnya malah semakin membuat ia terkurung di sebuah ruangan tertutup yang tidak ada orang lain lagi selain dirinya. Lagi-lagi kini ia sendiri. Ia marah pada dinding kusam yang menatapnya pilu. Maka, ketika seluruh tenaganya masih dirasa kuat, ia tendang dinding itu sekencang-kencangnya. Beberapa orang terdengar menjerit di luar sana. Ia semakin marah, ia merasa bahwa tidak ada seorang pun yang peduli kepadanya. Ia semakin menggila. Ditendangnya dinding itu sekuat yang ia bisa. Ditendangnya dinding itu sampai jari kakinya berdarah.

“Bagaimana ini? Dia semakin menggila” ujar seseorang yang memakai jas putih dari luar sana.

Mendengar kata gila, bukannya diam, tapi ia malah semakin marah. Semua orang pasti menganggap dia gila. Ia tidak terima dengan kata “gila” itu. Ia tidak merasa bahwa dirinya gila. Ia hanya butuh seseorang yang membuatnya merasa tenang dan nyaman.

Beberapa saat pintu terbuka. Sesosok wanita paruh baya memaksa menyerobot masuk meskipun sudah dilarang dari yang luar sana. Tapi wanita itu tetap keukeuh dan masuk dengan langkah kaki terbata-bata.

Ia terdiam sejenak melihat ada yang datang kepadanya. Ia tahu, bahwa wanita itu akan selalu ada untuknya. Ia tahu bahwa wanita itu akan selalu percaya kepadanya. Dan ia tahu, hanya dengan wanita itu ia merasakan ketenangan.

“Ibu, semua orang bilang aku gila. Aku tidak gila Bu...” ucapnya sambil terisak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun