Ani adalah siswa sebuah sekolah dasar yang selalu ceria. Ia bersemangat dalam melakukan segala sesuatu dalam hidupnya. Ia akan berangkat pagi-pagi dan selalu datang paling awal di kelasnya. Sebelum guru-guru datang , bahkan hari masih pertang, ia yang selalu datang lebih awal.
Meskipun ia bukan termasuk siswa yang berprestasi, namun ia selalu patuh dan mengerjakan tugas-tugas sekolahnya dengan baik. Nilainya jarang ada yang mendapat seratus, namun ia tetap bahagia dengan hal itu.
Suatu hari, ada keganjilan dalam dirinya. Si ibu merasa Ani kesulitan dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Ia selalu mendapat nilai merah. Saat menulis pun, ia terkadang tidak bisa membedakan mana yang “b” dan mana yang “d” atau “p”. Ia selalu tergagap dan lama sekali ketika disuruh membaca satu kalimat. Si ibu merasa khawatir dengan apa yang dialami Ani, lalu ia membawa Ani ke seorang Psikiater untuk melakukan konsultasi. Seteleh melihat tanda-tanda yang dialami Ani, dokter mengatakan bahwa Ani mengalami gangguan belajar disleksia.
Disleksia adalah gangguan belajar yang dialami anak dalam hal membaca dan menulis. Anak dengan disleksia melihat tulisan seolah campur aduk, sehingga sulit dibaca dan sulit diingat. Umumnya, gangguan ini dialami oleh anak yang berusia enam sampai tujuh tahun. Ditandai dengan kesulitan belajar membaca dengan lancar dan kesulitan dalam memahami meskipun normal atau diatas rata-rata. Ini termasuk kesulitan dalam penerapan disiplin Ilmu Fonologi, kemampuan bahasa/pemahaman verbal. Diseleksia adalah kesulitan belajar yang paling umum dan gangguan membaca yang paling dikenal.
Adapun tanda-tanda anak yang mengalami gangguan ini adalah ia akan kesulitan dalam berkomunikasi, hurufnya sering terbalik satu sama lain, atau ia akan menulis seperti tulisan di dalam cermin (terbalik). Ia juga akan kesulitan dalam membedakan mana yang arah kanan dan mana yang arah kiri.
Untuk penyebabnya, Para peneliti sudah berusaha untuk menemukan dasar biologis disleksia sejak pertama kali teridentifikasi oleh Oswald Berkhan pada tahun 1881, sedang istilah disleksia muncul pada tahun 1887 oleh Rudolf Berlin. Teori-teori dari etiologi disleksia telah berkembang sedemikian rupa. Diantara penyebab disleksia yaitu kerangka/anatomi saraf, faktor keturunan/genetik, pengaruh interaksi lingkungan.
Sedangkan penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan terapi. Penderita disleksia dapat belajar membaca dan menulis jika diberi dukungan semangat untuk belajar. Ada beberapa cara atau teknis yang dapat dikelola atau bahkan memperendah resiko terkena disleksia. Menghilangkan stress dan kecemasan diri kadang bisa meningkatkan pemahaman tertulis.
Selain hal tersebut diatas, penderita disleksia juga membutuhkan dukungan dari kerabat terdekat, khusunya dukungan dari orang tua.
http://id.wikipedia.org/wiki/Disleksia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H