Dahulu kala, tatkala bumi masih dikuasai oleh peradaban Yunani Kuno, hiduplah seorang pemuda tampan yang konon katanya jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Karena self-love-nya yang terlalu tinggi, menurut mitologi Yunani, ia oleh Dewa diubah menjadi bunga yang kini dikenal dengan narcissus.
Kalau itu di zaman Yunani Kuno, maka yang lebih modern lagi, ada narkissos versi mutakhir. Ia dikenal hampir diseluruh penjuru kampus. Bukan hanya tampangnya saja yang lumayan, tapi dia juga mempunyai semacam karismatik yang bisa menarik orang.
Pagi itu, aku sering mendapatinya berjalan anggun seolah melewati karpet merah.
“Berjalan di lorong kampus aja kayak mengikuti peragaan busana” ucapku. Si Harun, yang berada di sampingku hanya tersenyum saja mendengar celotehanku.
“Kamu syirik banget sama dia”
“Dia merasa menjadi pangeran sejagad, seolah hanya dia yang paling tampan disini. Dasar narsis!”
Harun geleng-geleng kepala, sejurus kemudian ia pergi.
***
Narsis! Narsis! Narsis! Dia narsis sekali!
Aku benci cara dia berjalan. Aku benci cara dia menyapa orang. Aku benci cara dia menarik perhatian. Dasar narsis!
“Jangan begitu kamu, nggak baik terlau benci sama orang” suatu hari si Harun mengingatkan.
“Aku nggak benci, hanya saja aku tidak suka dengan dia”
“Ya itu apa bedanya dengan benci. Dasar...!” ia terlihat sedikit sebal dengan perkataanku. Lalu meninggalkanku seorang diri.
“Aku tidak membencinya. Aku hanya tidak suka dengan dia” teriakku, berharap ia bisa mendengar meskipun sepertinya sosoknya sudah menghilang dibalik pintu.
“Dasar aneh!” suaranya masih terdengar meski sosoknya sudah berlalu.
Apa salahku? Aku hanya tidak suka dengan cara dia berperilaku, pokoknya aku tidak suka dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dia. Dia aneh! Dia yang aneh! Bukan aku! Si harun itu pasti salah menilai.
Saat itu suasana sepi sekali. Tidak ada seorangpun di sekelilingku. Si Harun juga pergi, si Syamsul katanya tadi lagi sarapan di kantin. Iseng saja aku mengeluarkan ponsel dan melihat bayangan wajahku dari sana. Terlihat gelap. Tapi masih dapat kulihat garis-garsi wajah yang masih kukenali disana.
aku juga tak kalah ganteng dengan si Andika. Memangnya dia saja yang bisa bergaya dan sok tampan? Aku juga bisa.
Baru kuingat ternyata kamera ponselku adalah versi keluaran terbaru yang bisa menghasilkan foto yang tak kalah dengan kamera lensa PC. Iseng aja aku memotret wajahku.
Jepret!
Sekilas muncul kilatan cahaya blitz yang menyilaukan mata. Beberapa orang yang tak jauh dari tempatku duduk melihat ke arahku. Mereka terlihat tertarik dengan apa yang kulakukan. Aku masa bodoh saja, seolah tidak ada orang lain yang memperhatikan.
Kulihat hasil jepretanku di layar. Aku tersenyum dalam hati. Hmm... lumayan, tidak kalah dengan si Andika. Ternyata jika di kamera aku lumayan ganteng ya, hehe. Tidak puas dengan hasil yang itu, kucoba lagi mengaambil gambarku dengan angle yang lebih spesifik lagi. Menggunakan aplikasi camera 360!
Kali ini aku lebih puas dengan hasilnya. Lihat saja! Wajahku terlihat lebih cerah, dan... lebih tampan. Hahaha... kali ini aku pasti bisa mengalahkan si Andika. Karena aku lebih tampan.
Entah tidak tahu sejak kapan, tapi aku kini mempunyai rutinitas baru, yaitu mengambil potret diriku. Rasanya ada kepuasan tersendiri tatkala kulihat gambarku di sana.
Suatu hari, kutunjukkan gambarku itu pada Harun.
“Bagus, kan?” tanyaku.
Ia terlihat terkejut dan mengalihkan pandangannya seketika dari ponsel yang kuberikan padanya.
“Kenapa?”
“Dasar!!! Cowok kok narsis!!” katanya sambil berlalu.
Aku hanya terpaku dengan ucapannya itu. Sementara orang-orang yang ada di sampingku hanya tertawa melihat tampangku yang entah mungkin sudah tidak tampan lagi. Aku masa bodoh. Sepertinya aku harus foto lagi. Dan tentunya, dengan camera 360. Agar nanti wajahku terlihat lebih tampan dan bersinar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H