The right man on the right place, kalau ada orang diluar partai yang mempunyai wawasan yang luas, kenapa tidak ditempatkan sesuai bidangnya. Tidak terlalu sulit mencari orang cerdas dan mempunyai pengalaman di negeri ini.Â
Jelas keputusan ini bisa disalahkan, presiden seakan dimainkan oleh partai pendukungnya. Kalau memang presiden menginginkan orang dari partai pendukungnya, silahkan meminta stock kepada partai untuk menyiapkan orang-orang yang pas mengisi pos kementrian.Â
Seperti halnya zaman Soekarno, Soeharto bisa melakukan hal ini untuk mendapatkan orang-orang yang pas dibidangnya. Akan tetapi, semua ini dilakukan berdasarkan permintaan dan kebutuhan masyarakat untuk melakukan reshuffle. Bukan karena persoalan partai yang berlawanan pemikiran.
Untuk itu, pemanggilan beberapa ketua partai membahas masa depan koalisi di pemerintahan, hal ini sesuatu hal yang beretika. Tetapi kalau ketua umum hanya untuk melakukan bargaining politik ini yang tidak diinginkan, memang semuah hak priogratif ada pada presiden. Semua ini balik lagi ke presiden, karena kekuasaan tidak ada intervensi dari pihak lain.Â
Bila kebijakan ini sesuai dengan aturan, kenapa harus takut, berlama-lama menggantungkan persoalan rehuffle kala itu. Yang ditakutkan, persoalan ini akan terjadi kepentingan-kepentingan yang diakomodasikan.
Memang kisruh reshuffle di Indonesia selalu identik dengan pergantian menteri secara rombongan. Seharusnya pergantian menteri itu bisa kapan saja menurut kebutuhan dan tidak menunggu kesalahan berkali-kali baru pasrah untuk diganti. Hal ini lah yang pernah dibiasakan pemimpin untuk bertanggung jawab atas peristiwa besar di bidangnya. Kalau hal ini diterapkan, pastinya semua akan bekerja secara baik dan penuh tanggung jawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H