Kekerasan Pada Anak, Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Merusak Masa Depan
Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi”. Berdasarkan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap anak berhak hidup, tubuh dan berkembang tanpa kekerasan dan diskriminasi. Pada post saya kali ini saya hanya akan mengupas tentang hak anak untuk bebas dari tindak kekerasan karena banyak sekali kasus kekerasan pada anak.
Kekerasan, hal yang harusnya tidak ditujukan untuk anak kecil karena anak kecil masih perlu tumbuh dan berkembang. Apa yang akan terjadi jika anak tersebut tinggal di lingkungan yang penuh dengan tindak kekerasan? Tentunya hanya menumbuhkan bibit untuk melakukan kekerasan saat dia besar nanti. Rantai setan ini perlu dihentikan sebelum generasi masa depan bangsa terkena “virus” ini.
Salah satu contoh kekerasan pada anak seperti kejadian yang menimpa Samuel Kristian bocah 6 tahun asal Magetan. Bocah ini harus rela dioperasi karena kekerasan yang dilakukan ayah tirinya padanya. Ayah tiri bocah ini tanpa belas kasih menyiram anaknya tersebut dengan air keras serta memaksa anak tersebut untuk minum air aki sehingga tidak hanya kulit bagian luar saja yang mengalami luka bakar tetapi juga mulut, hidung, rahang, dagu dan tenggorokan. Ini hanya satu contoh dari kasus kekerasan pada anak, dan saya yakin masih banyak kasus lain dan saya berharap agar kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi.
Kekerasan pada anak jelas-jelas mencoreng HAM karena jelas-jelas hak anak untuk hidup bebas dari kekerasan dilanggar. Tentu anak yang menjadi korban kekerasan ini pasti akan mendapatkan luka mental yang dapat menyebabkan kejadian yang menimpanya dia lampiaskan pada anaknya kelak. Tentu hal ini amat sangat berbahaya karena akan menimbulkan generasi yang “mencintai” kekerasan.
Kekerasan sendiri merupakan bibit penghancur negara ini karena melawan pancasila sebagai dasar negara. Oleh karena itu hak anak untuk bebas dari kekerasan harus lebih dipertegas di Indonesia agar mengurangi tindak kekerasan pada anak. Masa depan anak yang menjadi korban kekerasan sendiri bisa kurang baik karena luka-luka fisik dan non-fisik. Luka fisik dapat menyebabkan anak itu malu untuk bergaul karena bisa saja luka yang dia alami sampai membuat dirinya menjadi cacat. Sedangkan luka non-fisik bisa saja membuat anak tersebut menjadi tidak stabil mentalnya sehingga bisa saja dia menjadi pembunuh di masa yang akan datang karena pengalaman buruk yang dia alami saat dia menjadi korban kekerasan tersebut.
Hal-hal yang harus dilakukan untuk mengurangi kasus ini adalah dengan mendidik siswa dari taman kanak-kanak hingga dewasa nanti agar menjauhi apa yang disebut tindak kekerasan karena kekerasan hanya akan menjadi “virus” yang dengan mudah akan menular. Lalu sosialisasi juga wajib dilakukan ke para orang tua agar tidak meluapkan emosinya kepada anaknya atau keluarganya yang lain karena jika anaknya melihat tindak kekerasan bisa saja anak itu meniru tindakan orang tuanya itu sehingga anak itu melakukan kekerasan kelak di masa yang akan datang.
Untuk mencegah kasus ini bisa juga dilakukan dengan merehabilitasi para korban kekerasan sehingga mereka tidak akan “membalas dendam” ke anaknya kelak dan malah menjadikan pengalaman pahit itu sebagai pelajaran bahwa tindak kekerasan itu salah, dengan begitu korban tersebut tidak akan melakukan tindak kekerasan kepada anaknya atau temannya kelak. Pengurangan tontonan kekerasan di TV-TV lokal juga bisa menjadi solusi karena bisa saja anak belajar kekerasan dari film atau tontonan yang mereka saksikan di TV.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H