Mohon tunggu...
Alwin Ramli Sasmita
Alwin Ramli Sasmita Mohon Tunggu... Sejarawan - Writter and researcher

Sosial budaya, Humaniora, ekonomi dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Politisi Muda Saat Ini Mengenal Sosok Negarawan Ali Sastroamijoyo?

11 Maret 2022   13:49 Diperbarui: 11 Maret 2022   13:56 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ali Sastroamijoyo, Sumber: kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id

Ali Sastroamijoyo merupakan salah satu politisi yang sangat berpengaruh dalam pembangunan dasar pemikiran bangsa Indonesia, namun sering kita jumpai sosok Ali tidak begitu populer di kalangan anak-anak muda, khususnya politisi muda sekarang. Tonggak-tonggak sejarah Ali Sastroamijoyo diawali saat Ali mengubah keinginannya untuk menjadi seorang politisi. Ali Sastroamidjojo bergabung bersama PNI yang berideologi Marhaenisme karena adanya kesamaan pemikiran antara Ali dan Sukarno sebagai pemimpin partai tersebut. Dalam aktivitas politik, pemikiran Ali tidak hanya pada definisi imperialisme sebagai penindasan individu. Ali Sastroamijoyo melihat imperialisme sebagai dampak yang menyebar di tatanan internasional. Oleh karena gagasan pembebasan Ali lebih pada cakupan Indonesia yang berdampak pada pembebasan di dunia luar. 

Bersama dengan Soekarno, Ali aktif mengumandangkan bagaimana perdamaian dunia menjadi cikal bakal utama pembentukan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang menginginkan adanya perdamaian dan keadilan sosial. Dalam cita-cita tersebut, akhirnya Ali dapat mewujudkan impiannya setelah digelarnya Konferensi Kolombo yang dihadiri oleh Panca Perdana Menteri dari Srilangka, India, Pakistan, Burma (Myanmar), dan Indonesia. Pertemuan itu menjadi dasar pelaksanaan KAA (Konferensi Asia-Afrika) pada tahun 1955 yang membuat dunia terkejut. Hal ini tidak terlepas dengan bagaimana Soekarno memahami Ali Sastroamijoyo yang dianggapnya mampu mengimplementasikan garis perjuangan bangsa dalam percaturan global.

Ali juga merupakan seorang diplomat yang mampu mengemban tugas negara dalam misi-misi khusus yang sejalan dengan cita-cita Indonesia. KAA adalah buah tangan karyanya yang sampai saat ini akan menjadi sesuatu yang tidak hanya membanggakan Indonesia, tetapi negara-negara dunia ketiga. Gedung Merdeka menjadi saksi bisu bagaimana perdana menteri Indonesia saat itu, Ali Sastroamijoyo menjadi salah satu negarawan yang sukses membawa nama Indonesia diperhitungkan lebih jauh di mata dunia. Peran Ali dalam pembangunan dasar-dasar perjuangan Indonesia yang tidak hanya fokus pada negara sendiri, tetapi telah melaju pada percaturan politik internasional. Apa yang telah dilakukan oleh Ali dilatarbelakangi oleh keadaan keluarga yang hidup dalam keluarga priyayi, tetapi Ali menolak segala fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kolonial dan mulai masuk pada tataran perlawanan terhadap kolonialisme. 

Ali pun telah memulai pergerakan di ranah internasional dengan ikut aktif di liga anti imperialisme dunia yang membuat Ali menjadi sosok yang mempunyai paham pembebasan terhadap rakyat-rakyat tertindas. Meski sangat sukses, media-media Barat, khususnya TIME, menjelek-jelekkan pertemuan Bogor (pertemuan menjelang KAA). TIME menulis tentang pelayanan terhadap delegasi sangat buruk, air tidak mengalir, listrik kedap-kedip, tidak ada gantungan pakaian, dan lain-lain. Akan tetapi, kritikan itu dijadikan cambuk oleh Ali untuk membuat KAA menjadi lebih bergengsi dan bermartabat. KAA resmi dibuka pada tanggal 18 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Presiden Sukarno membuka KAA dengan pidatonya yang berapi-api. Sejarah mencatat bahwa KAA berhasil berjalan dengan sukses.

Di masa kabinet Ali Sastroamijoyo I juga berhasil mengadakan Pemilu (Pemilihan Umum) yang pertama di Indonesia pada tahun 1955. Partai-partai yang berkembang pada awal kemerdekaan hingga Pemilu 1955 pada umumnya dapat dilihat sebagai kelanjutan dari partai yang telah ada sebelum kemerdekaan. Partai-partai tersebut merupakan partai yang bersifat ideologis (weltanschaungs partie) dengan fungsi dan program utama untuk mempertahankan kemerdekaan. Partai-partai tersebut menjalankan fungsi mengagregasikan dan mengartikulasikan aspirasi dan ideologi masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan serta rekruitmen politik yang memunculkan tokoh-tokoh nasional sebagai wakil rakyat maupun untuk mengisi jabatan pemerintahan. Partai-partai yang berkembang pada umumnya adalah partai massa, meskipun terdapat partai yang dikategorikan sebagai partai kader dengan orientasi utamanya adalah mempengaruhi kebijakan dan menduduki jabatan dalam pemerintahan. 

Jika dipandang dari kacamata demokrasi, tujuan pemilu hendaklah kembali berpegang pada prinsip kebijaksanaan yang demokratis, yaitu menjamin semua kepentingan golongan masyarakat. Untuk itu, tujuan Pemilu harus dinyatakan dalam fungsi-fungsi utama, yakni Membentuk pemerintahan perwakilan lewat partai politik pemenang Pemilu; Menentukan wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat; Pergantian atau pengukurang elit penguasa; Pendidikan politik bagi rakyat melalui partisipasi masyarakat di dalam Pemilu.

Ali Sastroamidjojo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956, yakni Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Kabinet baru yang dibentuknya itu merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Program-program pokok kabinet ini, yaitu pembatalan KMB (Konferensi Meja Bundar); perjuangan mengembalikkan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia; pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan ekonomi, keuangan, industri, perhubungan, pendidikan dan pertanian; dan melaksanakan keputusan Konferensi Asia-Afrika. Kabinet Ali Sastroamidjojo II membatalkan seluruh perjanjian KMB pada tanggal 3 Mei 1956. 

Empat tahun kemudian, Pemerintah Indonesia menyatakan menolak membayar utang-utang warisan kolonialisme Belanda. Hubungan dengan Negeri Belanda semakin memburuk, terutama karena penolakan oleh pihak Belanda untuk merundingkan penyerahan Irian Barat ke Indonesia. Pada tanggal 4 Agustus 1956, Kabinet Ali secara sepihak menolak mengakui hutang negara sebesar f. 3.661 milyar di bawah persetujuan Meja Bundar. Sebanyak 85% dari jumlah yang disepakati pada tahun 1949, atas dasar pemikiran bahwa biaya tersebut adalah biaya perang Belanda untuk melawan revolusi dan pengingkaran ini disambut hangat di Indonesia.

Refrensi

Abdulgani, Roeslan. 2005. Asia Africa Bandung Connections. Bandung: The Asia Africa Academy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun