Pendekatan Transdisiplin: Ilmu Alam dan Ilmu Sosial Pemecahan masalah, inovasi, kreativitas, invensi, imaginasi, transformasi, pemanfaatan perkembangan teknologi, kewirausahaan, dan keterbukaan wawasan dalam berpikir adalah ide dasar dan filosofi yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan transdisiplin (Wissema 2009: 90).
Keterbukaan dalam berpikir yang dibentuk oleh pengalaman nyata (concrete experience) dalam berhadapan dengan ramah dan ganasnya alam semesta (perubahan iklim, bencana alam, air bersih, kebersihan lingkungan), kebutuhan untuk meringankan beban hidup manusia hidup di muka bumi (pakaian, makanan, tempat tinggal, energi yang terbarukan, transportasi), dan mengatasi peliknya masalah ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan sosial-keagamaan (kemiskinan, pendidikan, kesehatan,
radikalisme, terorisme, takfirisme atau suka mengkafirkan orang atau kelompok yang berbeda pemahaman dan penafsiran agama dari yang dimilikinya).
 inklusi sosial, narkoba, kekerasan seksual, korupsi, kolusi, dann nepotisme etika, dan hukum) adalah visi dan tujuan utama pendekatan pembelajarandan riset yang bercorak transdisiplin.P Pembelajarandan penelitian yang bercorak transdisiplin tidak harust terbatashanya dalam upaya mengkombinasikan ilmu pengetahuan dan
teknologi. E.O. Wilson memperkenalkan kembali istilah consilience, kesatuan ilmu pengetahuan (the unity of knowledge), mengumpulkan secara bersama-sama (bringing together) ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Menurut dia, sebagaimana dikutip oleh J.G. Wissema (Wissema 2009, 37), adalah sebagai berikut:
Konsep menyatukan kembali ilmu pengetahuan berakar pada konsep Yunani Kuno tentang adanya hukum keteraturan alam intrinsik, yang mengatur seluruh kosmos, alam semesta kita.Â
Hukum keteraturan alam ini dapat dipahami secara inheren oleh proses logika manusia, sebuah pemahaman yang bertentangan dengan pandangan mistis yang dianut oleh berbagai budaya di sekitar orang Yunani saat itu.Â
Pandangan rasional ini telah ditemukan kembali selama akhir era abad pertengahan, dipisahkan dari teologi selama era Renaissance, dan memperoleh puncaknya pada abad Pencerahan (Enlightenment).Â
Kemudian, dengan munculnya ilmu-ilmu, modern pemahaman akan menyatunya ilmu pengetahuan telah hilang dengan semakin bertambahnya fragmentasi dan spesialisasi ilmu dalam dua abad terakhir. Pemahaman yang berseberangan dengan konsep conscilience adalah reductionism.
Dari prinsip conscilience ini, Wilson berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada garis pembatas yang tegas antara ilmu-ilmu pasti (exact sciences) di satu sisi dan ilmu-ilmu humaniora (humanities) di sisi lain.Â
Psikologi kognitif dan antropologi biologis menunjukkan akan semakin menyatu dengan biologi. Pemahaman konsep penyatuan seperti itu akan membuka jalan ke depan untuk memahami sifat dasar manusia secara lebih baik dan benar.Â