Dalam istilah Psikologi ada yang disebut dengan Bandwagon, atau efek ikut-ikutan, adalah efek eksternalitas jaringan positif di mana seorang konsumen ingin memiliki suatu barang karena seseorang atau sekelompok orang. Yang mendasari hal ini adalah karena melihat teman ada juga yang hanya sekedar ingin tampil keren saja.
Budaya ini umumnya bisa ditemui pada remaja atau golongan dewasa muda yang berumur antara 15-21 tahun. Tapi, tidak sedikit anak-anak bahkan orang dewasa juga mengikuti budaya “buruk” yang satu ini.
Budaya ini disebut buruk karena pengaruhnya bukan hanya personal tapi juga untuk orang lain bahkan bisa berpengaruh buruk bai kultur ataupun budaya Indonesia. Budaya ini terdiri dari banyak sekali kasus yang terlihat biasa namun sama sekali tidak boleh untuk dianggap sepele. Karena pengaruhnya cukup besar untuk membangun generasi muda yang memegang peranan penting bagi kelanjutan bangsa Indonesia.
Contoh kasus ikut-ikutan banyak kita temui di organisasi ataupun komunitas. Tempat inilah yang biasanya mewadahi para kaum ikut-ikutan ini. Disinilah para generasi muda yang sedang beranjak dewasa memuaskan masa “puber”nya, ingin terlihat keren? Bisa, ingin narsis? Bisa, ingin cari jodoh? bisa banget, memang tidak salah, tapi bukan itu tujuan memasuki lingkungan itu, inilah masalah utama yang menjadi alasan penulis untuk menulis artikel ini.
Tujuan utama masuk kedalam sebuah organisasi ataupun komunitas adalah untuk belajar, bermanfaat bagi orang lain dan menambah relasi, bukan untuk sibuk cari perhatian agar terlihat keren, bukan sibuk foto-foto agar narsis di sosial media, atau sibuk tebar pesona supaya bisa dapat jodoh. Karena hal itu malah akan memberatkan pekerjaan orang lain, tugas yang diberikan tidak dikerjakan dengan baik karena gagal fokus mengerjakan hal-hal lain diluar kepentingan tugas.
Selain ingin tampil keren, biasanyak budaya ikut-ikutan ini terjadi karena diajak teman atau memang ingin ikut saja karena lihat teman ikut, niatnya daripada cuma rebahan dan gak ngapa-ngapain mending ikut kegitan positif dari organisasi atau komunitas, memang gak salah, tapi biasanya orang itu tidak berpikir sebelum mengikuti satu kegiatan tersebut, padahal yang di ikuti tidak sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimilikinya, alhasil, seperti kasus pertama, malah memberatkan orang lain.
Kasus-kasus seperti ini bisa kita temukan juga dalam demonstrasi, banyak golongan yang datang demo hanya karena dapat arahan dari orang lain, tanpa tahu seperti apa kasus yang sebenarnya sedang dipermasalahkan. Yang lebih parahnya lagi, dia bahkan tidak tau arti demonstrasi itu sendiri. Inilah salah satu penyebab salahanya persepsi terhadap demonstrasi yang dilasah artikan sehingga tidak sedikit dari mereka malah bersifat anarkis.
Bukan hanya berpengaruh pada orang lain, kasus ikut-ikutan ini juga bisa ditemukan dalam pengaruh terhadap budaya. Contohnya saja, generasi muda yang mulai mengikuti kultur dari luar Indonesia, seperti gaya berpakaian orang barat yang jelas sangat berbeda dengan budaya timur yang dianut oleh Indonesia.
Budaya seni lokal juga mulai dilupakan akibat generasi muda yang lebih tertarik mengikuti kesenian luar negeri, seperti K-POP dan lainnnya. Ini merupakan salah satu masalah terbesar yang mempertaruhkan keberagaman budaya yang menjadi salah satu daya tarik dari Indonesia.
Seharusnya, khususnya sebagai generasi yang diharapkan bisa menjadi generasi penerus bangsa, sudah seharusnya hal ini menjadi salah satu topik yang harus kita pelajari dan sebagai salah satu sosialisasi yang diedukasikan kepada generasi muda. Meskipun terlihat kecil, hal-hal seperti ini sebenarnya memiliki dampak buruk yang cukup besar jika terus dibiarkan begitu saja. Apalagi dizaman sekarang ini sedang gencarnya isu-isu kemasyarakatan yang mengarah kepada generasi muda yang katanya memegang sebagian besar populasi manusia di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H