Mohon tunggu...
Hikmatul Arif
Hikmatul Arif Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

2025, Farmasiku Jaya!

29 Desember 2017   21:25 Diperbarui: 15 Januari 2018   19:55 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi bagian dari farmasi merupakan kesyukuran yang luar biasa bagi saya apalagi saya diterima menjadi mahasiswa fakultas farmasi Universitas Hasanuddin, salah satu universitas terbaik di Indonesia. awalnya,mungkin  seperti orang lain, dulunya saya tidak mengenal apa itu farmasi. bagi saya kata "farmasi" amatlah asing di telinga saya, lebih-lebih kata apoteker. dulu, sewaktu kecil cita-cita saya mainstreaml-ah, khas anak-anak. jadi dokter. Namun, seiring berjalannya waktu impian saya pun berubah dan pilihan saya jatuh pada farmasi. 

Namun yang amat disayangkan dari farmasi saat ini adalah seolah-olah pekerjaan farmasi itu sebagai pekerjaan yang hanya bertindak sebagai penerjemah resep dokter atau bahasa kasarnya sebagai pembuat obat. Stigma masyarakat luas terhadap apoteker atau farmasis masihlah amat sempit dan terbatas. Padahal jika ditilik lebih jauh seorang apoteker atau farmasis tidak hanya bergelut dalam ranah obat saja. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang apoteker, mulai dari obat sampai kosmetik. dari pelayaan sampai industri. namun tetap, seorag farmasisi masih kurang dikenal. entah apa yang salah dengan farmasi Indonesia saat ini.

Untuk menjawab hal itu, mari kita lihat perkembangan yang terjadi dalam dunia kefarmasian di berbagai belahan dunia selama kurun satu dasawarsa ini, dimana perubahan mendasar dalam pelayanan kefarmasian yang dititikberatkan pada orientasi pasien atau biasa kita sebut patient oriented. Dimana keberhasilan terapi dan peningkatan kualitas hidup pasien menjadi tujuan utama bahkan harga mati dalam pelayanan kefarmasian, hal itu yang kemudian secara luas dikenal sebagai pharmaceutical care, bahkan di Australia dan UK mulai tahun 2007 kemarin sudah dimunculkan wacana supplementary prescribing bagi seorang farmasis, dengan bahasa awam bisa diartikan bahwa apoteker mulai boleh menulis resep walaupun untuk penyakit-penyakit yang sifatnya kronis yang butuh penanganan yang cepat dari para praktisi kesehatan dalam hal ini juga seorang apoteker. Bahkan seorang praktisi pharmacist prescribing di UK dalam jurnalnya menyebutkan bahwa dengan kemampuan farmakoterapi dari seorang apoteker, tidak dipungkiri lagi jika apoteker harus mulai diberi tanggungjawab dalam penentuan terapi bagi seorang pasien, nukan hanya sebagai pendamping prescriber (dokter) melainkan si prescriber itu sendiri. Di indonesia, juga sudah direkomendasikan adanya PMR (Patient medical record), dimana sebuah dokumen yang akan selalu memonitor kondisi pasien yang berobat di apotek-apotek kita . Dengan PMR ini, tidak hanya mampu mengikat pasien sebagai pelanggan kita, namun lebih pada optimalnya perhatian kita terhadap pasien itu sendiri, sehingga tujuan terapi bisa tercapai secara optimal pula.

Dinamisasi pelayanan itulah yang menjadikan farmasi klinis sebagai suatu bidang dalam farmasi yang akan terus berkembang dan berkembang, progresifitas yang tidak harus kita maknai sebagai sebuah langkah revolusioner namun inilah langkah nyata bagi seorang apoteker yang bertanggungjawab pada proses terapi yang diberikan pada pasien. Menurut penulis, rangkaian patient oriented, pharmaceutical care, dan prescribing pharmacist adalah sebuah jalan yang sudah disiapkan bagi seorang apoteker untuk masa depan dunia farmasi. Pernah suatu ketika penulis berdiskusi dengan salah satu fungsionaris IAI Pusat, beliau mengatakan bahwa rangkaian itu hanyalah wishful thinking dimana kita hanya boleh berharap, namun masih jauh dari jangkauan kita saat ini. Boleh dibilang, saat ini kita tidak mampu memetik mangga diatas pohon karena kondisi tubuh kita yang masih kecil, sehingga kita perlu mempersiapkan tongkat “genter” untuk membantu kita mencapai buah mangga atau kita perlu meminjam kursi tetangga sehingga tangan kita bisa meraih mangga tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah sampai kapan kita bisa menikmati mangga tersebut kalau kita sampai saat ini hanya memandangi mangga tersebut dari bawah, tanpa bergerak, tanpa berusaha naik atau bahkan hanya duduk dan memandangi mangga itu dari bawah sembari kita berkhayal betapa enaknya mangga itu untuk kita nikmati.

Marilah kawan, dinamisasi, progresivitas atau apapun itu kalau memang baik maka kita wajib untuk tidak boleh hanya bermimpi atau hidup hanya dengan penuh harap, melainkan harus berdiri, bergerak dan segera berpikir secara dinamis dan progresif, serta tinggalkan pemikiran-pemikiran konservatif yang dengan jargon nya “Alah..begini saja loh kita sudah lumayan kok, apakah yakin langkahlangkah itu nanti bisa berjalan optimal?” atau jargon ini “Kita perbaiki dan tambal yang lubanglubang saat ini dulu, baru kita mikir kedepan pelayanan farmasi itu harusnya bagaimana”.

Kawan, sekali lagi, masa depan adalah milik kita, masa depan adalah hasil dari apa yang kita lakukan saat ini, jika apoteker masih berpikir stagnan dalam proses yang sangat dinamis ini maka seperti yang dikatakan Van Mill, tidak akan ada masa depan bagi pekerjaan farmasis. Mari kita kumpulkan bersama, dahan, ranting, daun, atau apapun itu sehingga mangga yang ada diatas bisa kita nikmati bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun