Baru-baru ini pemerintah berencana untuk menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Dalam draf KUP yang diperoleh, tarif PPN ditetapkan 5% hingga paling tinggi yaitu 15%. Perubahan tarif tersebut diatur dengan peraturan pemerintah setelah disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah menjelaskan bahwa PPN dapat dikenakan tarif berbeda-beda tergantung dari jenis barang atau jasa. Misalnya, untuk barang-barang dan jasa yang diperlukan orang banyak dan sifatnya kebutuhan, biasanya dikenakan tarif PPN Â yang lebih rendah dibandingkan dengan barang dan jasa yang sifatnya bukan kebutuhan pokok.
Menurut Yustinus Selaku Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis "hal ini dilakukan akibat adanya penerimaan pajak yang tidak dapat dikejar secara agresif ditengah masa pandemi sekarang ini. untuk itu, diperlukan berbagai reformasi perpajakan agar dapat menyehatkan kembali kas negara dimasa pandemi". Hal ini bisa kita lihat dari tahun lalu dimana penerimaan pajak hanya mencapai RP 1.069,98 Triliun, jumlah tersebut hanya setara 89,25% dari target penerimaan pajak yang seharusnya sebesar RP 1.198,82 Triliun.
rencana pemerintah ingin mengubah tarif PPN ini langsung menuai protes dan kritikan dari masyarakat. Termasuk salah satu nya dari Ketua lembaga Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Bapak Rizal Edy Halim. Menurutnya dalam diskusi virtual, pertengahan bulan lalu "di masa pandemi seperti sekarang ini banyak sekali anggota masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja, penurunan upah, hingga bangkrut jadi apabila pemerintah meningkatkan tariff ppn untuk kedepan nya akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang semakin meningkat sehingga daya beli semakin tertekan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H