Bentuk Majemuk dalam Bahasa Indonesia: Menelusuri Perbandingan Pendapat Parera dan Chaer
KontroversiOleh: Alvyna Rohmatika
Simak bagaimana dua ahli bahasa memiliki pandangan berbeda tentang eksistensi bentuk majemuk dalam Bahasa Indonesia
Dalam kajian linguistik Bahasa Indonesia, perdebatan mengenai keberadaan bentuk majemuk telah lama menjadi topik diskusi yang menarik di kalangan ahli bahasa. Slametmuljana dan M. Ramlan, dua tokoh terkemuka dalam bidang ini, dengan tegas menyatakan adanya bentuk majemuk dalam Bahasa Indonesia. Namun, pandangan ini mendapat tanggapan berbeda dari Jos Daniel Parera.
Parera memiliki pendirian yang unik terkait konsep bentuk majemuk. Menurutnya, tidak ada ikatan struktural baik secara eksplisit maupun implisit dalam apa yang disebut bentuk majemuk oleh linguistik general. Dalam analisisnya, Parera mengkaji bentuk majemuk pada dua tingkatan: dasar dan perluasan. Pada tingkat dasar, ia mendasarkan kajiannya pada perhitungan frekuensi pasangan yang bersifat tertutup, terbatas, dan tetap.
Lebih lanjut, Parera mengamati bahwa frase dalam Bahasa Indonesia memiliki kemampuan berpolisemi secara leksikal, yang bergantung pada konteks situasi dan konvensi. Ia bahkan menyarankan perlunya penyusunan kamus frase bermakna leksikal sebagai pelengkap kamus sinonim. Meskipun tata bahasa tradisional menyebut frase-frase tertentu sebagai bentuk majemuk berdasarkan analogi pembentukan frase umum, Parera berpendapat bahwa belum ada mode dasar yang kreatif untuk pembentukan bentuk majemuk dalam Bahasa Indonesia.
Di sisi lain, Abdul Chaer mengambil pendekatan yang berbeda. Ia sama sekali menghindari penggunaan istilah "bentuk majemuk" atau "pemajemukan" dan lebih memilih menggunakan istilah "komposisi". Menurut Chaer, komposisi merupakan proses penggabungan dasar dengan dasar. Melalui konsep ini, Chaer secara tidak langsung menunjukkan ketidaksepakatannya dengan konsep bentuk majemuk.
Namun, dalam perkembangan praktisnya, beberapa bentuk komposisi ternyata tidak mendapat penerimaan di masyarakat. Hal ini terjadi karena konstruksi pembentuk komposisi tersebut dapat menimbulkan makna yang ambigu.
Berdasarkan analisis kedua pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuk majemuk sebenarnya ada dalam Bahasa Indonesia, namun konseptualisasinya berbeda di antara para ahli. Pembentukan gabungan kata, baik menggunakan konsep majemuk maupun komposisi, perlu mempertimbangkan makna leksikal dan makna gramatikal yang muncul dari pembentukan kata tersebut.
### Referensi
1. Chaer, Abdul. 2008. *Morfologi Bahasa Indonesia*. Jakarta: Rineka Cipta
2. Parera, Jos Daniel. 1994. *Morfologi Bahasa*. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI