Penulis : Alviyatun
Sarifah yang biasa dipanggil Ipah oleh teman-temannya, berusia 8 tahun. Di sekolah termasuk anak yang pendiam, tapi tetap memiliki beberapa teman bermain, yang mereka adalah para tetangganya. Ipah terpaksa mengikuti jejak ibunya saat sepulang sekolah, untuk mencari barang-barang bekas apapun, yang penting bisa ditukar dengan rupiah walau tak seberapa.Â
Uang tersebut bukan untuk jajan atau membeli sebuah mainan yang tak pernah terbeli selama ini, tetapi ia kumpulkan untuk kemudian ia gunakan membeli keperluan sekolahnya seperti buku, pensil, maupun bila ada tugas dari sekolah berupa ketrampilan tangan yang membutuhkan bahan dari luar.
Tak seperti anak-anak seusianya, yang telah akrab dengan dunia gadget, ia lebih mengakrabi botol-botol bekas yang dibuang orang di jalan atau di tempat sampah, kardus-kardus tebal yang kadang berserakan di pinggiran pasar, ataupun ia akan tersenyum kala melihat segerombolan anak-anak bermain di pelataran kompleks perumahan di samping dusunnya. Ia cukup bahagia menyaksikan drama anak-anak di televisi tetangga, meski hatinya kecut menciut dan perih merintih karena semua hanya mimpinya. Â
Suatu hari ia mendapati buah durian di pekarangan salah satu penduduk. Wangi sekali buah itu. Pemilik pekarangan sudah lama tidak bertempat tinggal di situ, sehingga ia bawa saja buah durian itu pulang ke rumah. Semerbak baunya menyeruak ke mana-mana. Ipah dan keluarganya selama ini belum pernah menikmati lezatnya seonggok daging buah penebar aroma wangi itu. Karena merasa itu buah tiada pemiliknya, keluarga kecil itu menyantap habis buah berduri yang membuat ketagihan banyak orang. Hanya tertinggal kulit berduri yang tertunduk di pojok luar gubuknya.
Keesokan harinya seorang tetangga mencari-cari sumber asal bau durian itu. Karena tak biasa ada bau wangi menyengat di sekitar mereka.
"Oalah, ini to sumber baunya. Kulit durian dibuang di samping gubukmu, Nah," teriak Yu Wati salah satu orang yang penasaran dengan sumber bau yang tak biasa.
"Kenapa Yu?" tanya Painah.
"Baunya menusuk-nusuk hidungku, Nah, bikin penasaran orang saja, ternyata tinggal kulitnya saja,"ungkap Yu Wati.
Setelah menjelaskan pada Yu Wati, Painah melanjutkan membersihkan dapur. Painah adalah mamak dari Sarifah dan Iman.
Iman adalah kakak laki-laki satu-satunya yang dimiliki Sarifah. Saat ini genap satu semester ia menjalani masa belajar secara daring. Karena kondisi pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Ia belajar semampunya, karena keterbatasan ekonomi yang memaksanya tidak bisa memiliki sebuah alat yang mampu menghubungkannya dengan para guru pembimbing dan pengajar online. Sekolah pun nampaknya tak bisa berbuat banyak, menyediakan sarana dan prasarana bagi muridnya ini.
Namun Amin tak ingin ketinggalan dengan apa yang disampaikan guru-gurunya walau sehari. Setiap hari ia menyambangi salah seorang temannya yang kebetulan rumahnya tidak begitu jauh. Satu kilo dari rumahnya. Ahmad namanya. Ia teman sekelas Amin. Ahmad dengan suka rela berbagi gadget demi kelancaran tugas Amin.
 Setiap pagi Amin dan Ahmad bersama menyimak pelajaran yang disampaikan oleh guru pembimbingnya secara online di rumah Ahmad. Kebetulan orangtua Ahmad menyediakan wifi di rumahnya. Ahmad pun tak segan meminjamkan gadgetnya untuk memfoto dan mengirimkan hasil pengerjaan tugas Amin. Jadilah Ahmad dan Amin menjadi teman yang akrab.
Sekitar 2 jam Amin belajar bersama di Rumah Ahmad setiap paginya. Ia pun pulang ke rumah dengan langkah ringan, karena tugas dari guru telah selesai. Meski esok pagi ia harus mengerjakannya lagi.