Mohon tunggu...
Alvita Handayani
Alvita Handayani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

my passion is my power

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kesetaraan Gender dalam Budaya Patriarki

24 April 2014   15:41 Diperbarui: 4 April 2017   16:49 2804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sepatutnya kita berterimakasih kepada RA Kartini dengan perjuangannya yang memperhatikan nasib kaum wanita saat zaman penjajahan dengan negara Belanda. Tidak bisa dipungkiri, nasib kaum wanita yang termaginalkan saat zaman penjajahan menjadi latar belakang RA Kartini dalam memulai perjalanan panjangnya mengangkat derajat kaum wanita. Seiring dengan berkembangnya waktu, isu kesetaraan gender bagi kaum wanita dan pria pun terangkat di permukaan sebagai wujud dari bentuk protes posisi kaum wanita yang lemah karena didukung berlakunya budaya patriarki yang menekankan bahwa  kedudukan pria adalah mutlak sebagai pemimpin dan mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada wanita.

Dalam budaya patriarki secara eksplisit terungkap bahwa wanita mempunyai kedudukan sebagai ‘milik’ kaum pria , pelayan/asisten (melayani/membantu memenuhi kebutuhan kaum pria) ,  mainan (penghibur kaum pria) dan  penghasil keturunan . Sangat tergambar dengan jelas bahwa wanita tidak mempunyai kemandirian dan hidup hanya tergantung dari kaum pria. Hal ini terjadi secara turun temurun karena didukung tidak adanya kemampuan/daya saing seorang wanita untuk bisa menunjukkan eksistensi diri karena terbatasnya akses pendidikan yang membatasi kaum wanita pada jaman penjajahan Belanda. RA Kartini memandang perlunya pendidikan sebagai pintu utama mengangkat derajat kaum wanita untuk mengimbangi budaya patriarki yang semakin melampaui batas sehingga membuat wanita terbelenggu dalam kebodohan dan semakin terinjak-injak derajatnya . Dengan berbekal referensi dari koresponden teman-teman wanita di luar negeri, RA Kartini bertekad untuk  memperjuangkan kaum wanita khususnya dalam memperoleh akses pendidikan .

Dalam perkembangannya,  saat ini telah banyak kita temui peran wanita yang telah berkembang  dalam pembangunan, ketenaga kerjaan  hingga mencapai lintas gender tentunya tidak terlepas dari perjuangan kaum feminis sebagai penerus RA Kartini . Keberadaan Undang-Undang yang mendukung kesetaraan gender sebagai bukti bahwa Pemerintah ikut mengupayakan keadilan bagi semua gender, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi . Tidak ada pengecualian gender dalam memperoleh pendidikan, lapangan kerja bahkan mengutamakan quota 30% bagi perwakilan perempuan dalam parlemen. Namun adanya kesetaraan gender yang semakin pesat perkembangannya, tidak serta merta menghilangkan begitu saja praktik tindakan semena-mena terhadap wanita berkurang. Masih  banyak kita temukan di sekitar kita  kasus KDRT yang  masih tinggi akibat adanya pemahaman budaya patriarki yang sempit oleh pria maupun wanita.

Berlakunya budaya patriarki yang sampai sekarang masih dianut oleh masyarakat membuat sebagian kaum wanita atas nama kesetaraan gender menjadi tidak nyaman dengan posisi sebagai warga “kelas dua”. Pandangan yang sempit dalam budaya patriarki mendukung kaum pria melegalkan tindakan semena-mena terhadap kaum wanita. Sehingga muncul macam-macam gerakan kaum feminis yang menentang anggapan bahwa wanita hanya berperan dalam urusan domestik lokal hingga yang beranggapan bahwa pernikahan sebagai ‘’ladang subur’’ praktik patriarki bisa menghambat  eksistensi seorang wanita, nyata-nyata sangat bertentangan dengan kodrat dan budaya patriarki yang masih dianut hingga saat ini. RA Kartini pun bukan seorang yang menentang adanya budaya patriarki. Beliau juga menjalankan perannya sebagai seorang istriyang mengabdi kepada suami. Tentunya RA Kartini tidak ingin perjuangannya dalam mengangkat derajat wanita berkembang menjadi bumerang dan menghambat kaum wanita untuk menjalankan kodratnya karena tidak mampu untuk menyeimbangkan antara kodrat dan keinginan untuk aktualisasi diri.

Hidup dalam budaya patriarki bukan berarti kita semata-mata hanya menjalankan kodrat dengan membiarkan diri sebagai wanita konvensional yang tidak menyesuaikan dengan perubahan jaman hingga berlarut-larut terintimidasi oleh kaum pria yang sangat fatal akibatnya bagi psikologis pendidik generasi penerus.  Namun hendaknya juga memandang kesetaraan gender sebagai suatu jalan untuk lebih memantaskan diri bagi wanita untuk tidak sekedar menjadi objek dan bukan memandang kesetaraan gender dalam makna yang sempit yaitu untuk menggantikan posisi kaum pria sebagai pemimpin tetapi untuk meningkatkan kualitas wanita dalam posisinya yang sejajar dengan kaum pria. Untuk membuat kaum wanita menjadi lebih tau hak dan kewajibannya sebagai bekal untuk membentengi diri dari tindakan yang semena-mena.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun