Mohon tunggu...
Alvira Choirina Afiani
Alvira Choirina Afiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

penyuka fiksi yang hidup dalam nonfiksi sly.the.rin pride

Selanjutnya

Tutup

Raket

Bulu Tangkis, Warganet, dan Kejadian Cyberbullying

2 Juni 2022   08:40 Diperbarui: 2 Juni 2022   08:41 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

            Pada tahun 2022 ini, Thomas-Uber Cup dan Sea Games diselenggarakan di Thailand dan Vietnam. Indonesia berangkat dengan membawa gelar juara bertahan Thomas Cup dan beregu putra Sea Games. Oleh karena pelaksanaannya yang hampir bersamaan, Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) membagi para atlet binaannya menjadi dua, yaitu Tim Thomas-Uber dan Tim Sea Games. Skuad utama putra dibawa untuk mempertahankan Thomas Cup dan skuad utama putri dibawa untuk membawa hasil yang lebih baik pada Sea Games. Sementara itu, skuad pelapis putra dibawa untuk mempertahankan gelar beregu putra Sea Games dan skuad pelapis putri dimasukkan dalam Tim Uber.

Banyak warganet kemudian mempertanyakan keputusan PBSI. Apakah memang ini jalan yang terbaik?

            Mari kita menganalisis hasil yang diberikan dan menilainya secara objektif. Tim Thomas gagal mempertahankan gelar juara bertahan setelah kalah dari kuda hitam, India, yang bermain sangat bagus dengan skor telak 3-0. Kemudian, beregu putri Sea games masih mendapat hasil yang sama seperti Sea Games sebelumnya, yaitu perak dan beregu putra Sea Games justru gagal mempertahankan gelar juara bertahan. Para pecinta bulu tangkis pun banyak yang menyayangkan terputusnya tradisi emas beregu putra Sea Games yang telah ada sejak tahun 2007.

            Hasil yang mengejutkan justru diperoleh Tim Uber, masih dengan raihan yang konsisten di perempat final seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi timnas dengan rerata usia kurang lebih 21 tahun ini berhasil tampil cukup memukau dengan mengambil satu poin dari Tim Uber Jepang yang mana berangkat sebagai unggulan satu Uber Cup. Tidak lain adalah Bilqis Prasista, remaja 19 tahun berperingkat 333 dunia, yang mampu mengalahkan Akane Yamaguchi, juara dunia sekaligus tunggal putri nomor satu dunia, pada fase grup. Kemudian, pada fase perempat final, meski kalah, tetapi Bilqis mampu mengambil satu game dari tunggal putri Tiongkok, He Bingjiao, yang duduk di peringkat sembilan dunia.

Prestasi ini tentunya menjadi ramai diperbincangkan warganet Indonesia dan sempat trending nomor 1 di aplikasi Twitter. Banyak masyarakat memuji pencapaian tidak hanya Bilqis, tetapi juga hampir semua anggota Tim Uber dan Tim Thomas.

            Mengapa dikatakan hampir? Karena beberapa dari mereka mengalami cyberbullying atau perundungan oleh warganet. Lebih jauh lagi, fenomena ini sering ditemukan pada atlet bulu tangkis Indonesia yang baru kalah padahal mereka juga sudah berjuang mati-matian agar bisa menang. Sebut saja tunggal putra Anthony Ginting dan Jonathan Christie yang saat babak final Thomas Cup kemarin gagal menyumbang poin. Tidak sedikit warganet menyerang akun sosial media mereka terlepas dari prestasi yang telah mereka cetak di babak sebelumnya. PBSI pun kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa mereka sebenarnya telah cedera beberapa saat sebelumnya. Ginting mengalami cedera pinggang dan Jonathan mengalami cedera pada jari kaki. Apabila timbul pertanyaan jika sudah tahu cedera mengapa tetap memasukkan mereka ke dalam starting line up maka jawabannya adalah karena terdapat regulasi yang mengharuskan untuk menurunkan pemain berdasar urutan rankingnya sehingga apabila Indonesia mau menang, pilihan yang paling masuk akal saat itu hanyalah menempatkan Ginting sebagai tunggal pertama dan Jonathan sebagai tunggal kedua.

            Perundungan yang diberikan oleh warganet ini sering kali di luar batas. Mereka tidak hanya mengomentari kemampuan, tetapi juga mengatakan hal yang tidak sesuai konteks seperti penampilan fisik yang menyerempet ke body shamming bahkan membahas keluarga atlet. Tidak relevan bukan?

            Tidak sedikit yang menganggap bahwa adanya komentar negatif yang ditujukan pada atlet diperlukan agar mereka bisa tampil dengan lebih maksimal. Akan tetapi, apapun yang berlebihan tidaklah baik. Pemikiran seperti ini ternyata bisa meningkatkan risiko cedera yang dialami oleh atlet. Dampak cyberbullying secara umum adalah penyalahgunaan obat-obatan, gangguan tidur, sakit kepala, sakit perut, dan nyeri punggung. Sementara itu, dampaknya pada atlet adalah penurunan performa akademik, kemunduran skill, mengalami isolasi sosial, dan rendahnya kepercayaan diri yang berujung pada mundurnya atlet dari karier olah raga.

            Sejauh artikel ini ditulis, bulan Juni besok saatnya Indonesia menggelar Indonesia Master dan Indonesia Open. Turnamen tersebut bisa dikatakan bergengsi karena wajib didatangi oleh pebulu tangkis dunia berperingkat atas. Banyak atlet Indonesia yang juga akan bertanding nanti. Oleh karena itu, mari menjadi suporter yang bijak dimulai dari diri sendiri, yaitu dengan tidak mengirim komentar yang terlampau negatif pada sosial media mereka sehingga kita bisa menjadi suporter yang bisa membantu menaikkan semangat juang atlet. Bukankan suporter seharusnya menyanjung saat menang dan mendukung saat kalah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun