Mohon tunggu...
alvin yesaya
alvin yesaya Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Kemaritiman, pendidikan, dan literatur. Coastal Engineer

Pengamat Kemaritiman, pendidikan, dan literatur. Coastal Engineer. Jalasveva Jayamahe

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mewaspadai Gerakan "Divide et Impera Modern" Media Sosial di Indonesia

7 Desember 2016   18:08 Diperbarui: 7 Desember 2016   18:38 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.deviantart.com

Divide et Impera (politik adu domba) merupakan sebuah strategi perang klasik yang bertujuan untuk memecah belah sebuah aliansi. Strategi ini sangatlah efektif, karena dengan membuat lawan menghancurkan satu sama lain, kekuatan besar yang telah dibangun akan terpecah dan masing-masing akan mudah dikalahkan. Berdasarkan sejarah Indonesia, politik adu domba digunakan oleh negara kolonial untuk menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Beberapa contoh penerapannya:

  • Kerajaan Ternate dan Tidore yang diadu domba Spanyol dan Portugis
  • Sistem tanam paksa yang mengangkat sebagian pribumi menjadi kepala dan memanfaatkan mereka dengan memberikan uang dan kenyamanan hidup untuk menindas petani dan warga-warga miskin ( ref: Buku Max Havelaar)
  • Beberapa perang melawan Belanda seperti perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh.

Alasan utama mudahnya politik ini digunakan adalah karena beragamnya suku dan kerajaan di Indonesia sehingga apabila “harga diri”suatu suku di bakar, maka akan timbul sebuah kobaran api besar tidak peduli siapa “lawan sesungguhnya”.

Akhirnya muncullah gerakan nasionalisme yang berasal dari cendikiawan dan beberapa orang elit pribumi yang disekolahkan ke negeri Belanda dan membuka jendela wawasan mengenai dunia kepada Indonesia. Puncaknya melahirkan Sumpah Pemuda dan kesatuan yang harmonis untuk menumpas kolonialisme. Mereka sadar selama ini telah diadu satu sama lain dan kuncinya adalah persatuan. Persatuan dari suku, agama, dan bahasa yang tertuang didalam negara idaman bernama Indonesia.

Divide et Impera “modern” rupanya kembali terjadi akhir-akhir ini. Dengan menggunakan kemudahan informasi dan media sosial, ada “oknum” yang kurang ajar dan tidak bertanggung jawab ingin memecah persatuan masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal yang digunakan sederhana, yaitu memecah belah melalui SARA dan menebarnya di media sosial. “Warisan sifat” nenek moyang kita tentang mudahnya terpecah karena harga diri diluapkan kembali oleh sebuah oknum yang ingin menghancurkan Indonesia dan Pancasila.

Masih kurangnya pendidikan literasi informasi masyarakat Indonesia dan kurangnya pendidikan teknologi menyebabkan mudahnya masyarakat terhasut oleh oknum tidak jelas yang menyebarkan berita-berita HOAX atau negatif. Trend media sosial memang sangat mempermudah kita untuk mendapatkan informasi dan berargumentasi langsung, bahkan ke pemimpin daerah/negara. Lalu hal itu membuat banyak orang dengan seenaknya memberikan komentar-komentar berisi kebencian. 

Saya sadar betul bahwa mengontrol emosi sangatlah sulit, terlebih lagi ketika suku/agama saya dilecehkan di media sosial dan juga berita-berita hangat mengenai sabotase penyelenggaraan kegiatan ibadah oleh sebuah Ormas tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan sebuah agama. Hasilnya munculnya generalisasi oleh masyarakat bahwa agama X kelakuan bla,bla,bla (anda dapat lihat debat2 agama di page-page facebook, dan entah kenapa ujung2nya bawa2 Ahok/Jokowi/Tokoh Agama bahkan hingga merk minum air putih, dan sekarang merk roti)

Siapa yang mengambil keuntungan? Tentunya ada pihak yang bermain di belakang semua ini yang senang menari-nari melihat bangsa ini semakin lama semakin terpecah. Apabila kondisi ini terus berlangsung, saya tidak heran suatu saat akan terjadi suatu perpecahan masive di antara masyarakat karena yang disinggung langsung adalah hal-hal yang berbau SARA. Pemberitaan di media nasional selalu menyoroti tentang ini dan seolah-olah tidak ada tindakan dari pemerintah untuk menghentikan sebuah gerakan “adu domba media sosial”.

Solusi? Solusinya adalah kita sebagai pengguna media sosial haruslah bijak dan menahan emosi. Kalau dahulu ada kaum cendikiawan yang membuat persatuan maka sekarang harus ada kaum “cendikiawan media sosial dan emosi”. Hal ini saya sebut karena beberapa orang yang menurut saya memiliki pendidikan tinggipun tidak luput dari penyalahgunaan media sosial sehingga pendidikan formal tidak menjamin anda menjadi seorang “cendikiawan modern”. 

Jangan mudah terprovokasi, hadapi sebuah berita dengan kepala dingin yang terkait dengan isu SARA, dan kenali berita HOAX. Berargumentasilah dengan bijak dan tetap menyebarkan semangat persatuan selama melakukan post di media sosial. Kalau bukan kita yang menyelesaikan masalah ini, lalu siapa lagi?

Salam persatuan , Bhinneka Tunggal Ika

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun