Mohon tunggu...
Benedicta Alvinta Prima
Benedicta Alvinta Prima Mohon Tunggu... Freelancer - Do my best

Berpengalaman sebagai jurnalis selama hampir 8 tahun. 5 tahun sebagai mahasiswa jurnalistik dan 3 tahun sebagai jurnalis di dua media yaitu internship Tempo.co dan wartawan Harian Kontan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Emansipasi, Perempuan dan Pria

21 April 2016   22:08 Diperbarui: 21 April 2016   22:29 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, salah satu teman saya bertanya bagaimana tanggapan saya tentang menjadi perempuan saat ini. Malam ini, teman saya yang lain mengirimkan opininya mengenai perempuan dalam budaya patriarki dan meminta tanggapan. Kurang lebih opininya menjelaskan bahwa peran perempuan dalam mendidik anak di budaya patriarki sangatlah krusial.

Saat ini, 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Figur yang dikenal sebagai pejuang kebebasan perempuan. Pada masa Kartini hidup, perempuan di jawa tidak bebas dalam menuntut ilmu, harus dipingit, bersedia dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal dan bersedia dimadu. Kedudukan perempuan pada masa itu berbeda jauh dengan kedudukan pria. Kartini merasa prihatin dengan kondisi itu, kemudian ia bercita-cita ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu. Dengan dukungan suaminya, pada tahun 1903 Kartini merealisasikan cita-citanya. Ia mendirikan sekolah untuk perempuan yang berlokasi di rumah ayahnya.

Hari Kartini tentu saja diperingati untuk menghormati perjuangannya mendobrak peraturan yang kaku pada masa hidupnya. Berangkat dari emansipasi yang didengungkan oleh Kartini, bagaimana perempuan di Indonesia saat ini?

Setiap kali Hari Kartini diperingati, yang terlintas dalam benak saya (dan mungkin semua orang) adalah perjuangan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Kedudukan perempuan haruslah sama dengan laki-laki. Sedangkan kondisinya saat ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam berpendapat, berorganisasi, dalam dunia pendidikan, dan kancah perpolitikan. Banyak perempuan hebat yang kita kenal saat ini bergelut dengan profesi dan passionnya. Lalu apa yang menjadi masalah? Pandangan tentang perempuan itu sendiri.

Pandangan yang dikonstruksi, baik menurut si perempuan itu sendiri maupun kaum pria. Benar bahwa peran ibu dalam mendidik anak adalah hal yang krusial. Pertama-tama seorang anak mendapatkan pendidikan moral dari sang ibu. Kartini pun mengamininya dalam surat-surat yang ia kirim. Untuk satu hal yang ini, secara kodrati memang kaum pria tidak dapat melakukannya. Alex Sobur dalam bukunya Anak Masa Depan juga mengatakan bahwa ibu adalah orang pertama yang dikejar oleh anak: perhatian, pengharapan dan kasih sayangnya, sebab ia merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak, ia yang menyusui dan menggantikan pakaiannya.

Untuk sesaat, membaca argumen ini membuat saya sebagai perempuan merasa memiliki kedudukan yang tinggi. Namun, banyak hal lain yang lebih memojokkan perempuan. Seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 3 yang menjelaskan suami boleh memiliki istri lebih dari satu sedangkan seorang istri hanya boleh memiliki satu suami. Dalam pasal 4 juga dijelaskan bahwa suami boleh melakukan poligami apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,  istri memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Lalu bagaimana bila suami yang tidak dapat menjalankan kewajibannya, cacat dan sebagainya? Undang-Undang tersebut menlanggengkan anggapan bahwa perempuan tak memiliki kuasa yang sama seperti laki-laki. Parahnya lagi, dalam kasus perkosaan, pihak perempuan disalahkan dengan pakaiannya yang mengundang libido. Sedangkan di sisi lain, Veven Sp. Wardhana dalam bukunya menjelaskan bahwa betapa liar dan susah untuk mengendalikan gelegak syahwat laki-laki. Mengenai fantasi tersebut, salah satu iklan pengharum badan juga menampilkan laki-laki yang berfantasi dengan bidadari ‘sexy’ yang kemudian ditutup dengan kalimat “mau berkencan dengan mereka?”.

Perempuan seolah-olah diletakkan sebagai objek yang dipojokkan. Mulai dari undang-undang yang berlaku jelas bila suami sampai mencari perempuan lain, berarti istrilah yang bersalah. Bila terjadi pemerkosaan, perempuan lah yang salah, bila ada perempuan yang membuat laki-laki berfantasi maka si perempuan lah yang bersalah.

Dan lucunya, saat ini kaum perempuan malah berlomba-lomba supaya bisa memunculkan fantasi dari kaum pria. Baru-baru ini secara viral muncul sebuah foto anak-anak SMA dengan seragamnya yang ketat, tak hanya itu, kemunculan goyang dribble pun menjadi sorotan. Fenomena sensualitas ini seolah-olah mengamini argumen saya bahwa kaum perempuan saat ini sedang berlomba.

Mungkin tulisan saya bisa menjadi satu buku apabila mengulas tentang kaum perempuan dan kedudukannya. Fenomena yang saya sebutkan di atas kembali menanyakan, siapa yang salah apabila perempuan masih diletakkan sebagai objek yang dipojokkan? Tak hanya kaum laki-laki, kaum perempuan pun turut bertanggung jawab.

Maka menurut saya emansipasi perempuan saat ini tepat apabila dilakukan oleh kaum perempuan dan laki-laki. Bersama merubah struktur yang sudah mendarah daging dan terlegitimasi dalam kehidupan kita. Terlebih, bagi saya, kaum perempuan tidak layak menuntut emansipasi apabila masih terjebak dalam sensualitas untuk mengkomodifikasi dirinya sendiri. Sebab, bila terus demikian, jangan salahkan kaum laki-laki yang terus memandang perempuan sebagai objek bagi mereka. Karena memotong fantasi jelas tak mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun