Mohon tunggu...
Benedicta Alvinta Prima
Benedicta Alvinta Prima Mohon Tunggu... Freelancer - Do my best

Berpengalaman sebagai jurnalis selama hampir 8 tahun. 5 tahun sebagai mahasiswa jurnalistik dan 3 tahun sebagai jurnalis di dua media yaitu internship Tempo.co dan wartawan Harian Kontan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keblinger Jatah Freeport, Lupa Etika

7 Desember 2015   22:28 Diperbarui: 7 Desember 2015   22:28 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Media akhir-akhir ini ramai dengan kasus pencatutan nama Jokowi-JK dalam rekaman milik Setyo Novanto. Bahkan, malam ini, saat sidang tertutup berlangsung, keluarga saya duduk di depan TV dan saling berkomentar mengenai sikap Setyo Novanto. Masyarakat menyayangkan keputusan MKD untuk melaksanakan sidang secara tertutup, padahal sidang sebelumnya dilaksanakan secara terbuka.

Pilihan tertutup atau terbuka, mari kita lihat pada UU MD3. UU ini mengatur bahwa persidangan MKD bersifat tertutup dan wajib dijaga kerahasiaannya. Sidang MKD hari ini, yang dilaksanakan tertutup, tentu saja tidak melanggar UU tersebut. Namun, bukankah Revisi UU MD3 juga menjadi polemik? Di luar itu, keinginan masyarakat untuk sidang terbuka sepertinya muncul akibat rasa tidak percaya terhadap aparat pemerintah.

Pada sidang Sudirman Said dan Ma’roef Sjamsoeddin, keduanya meminta untuk dilaksanakan secara terbuka, supaya tidak ada yang dicurigai. Maka MKD bisa mengabulkannya. Keberanian ini bisa kita apresiasi. Namun, lagi-lagi MKD malah membuat masyarakat kembali tidak percaya pada proses persidangan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Kahar Muzakir. Wakil Ketua MKD ini dianggap mengajukan pertanyaan yang tidak relevan dan cenderung menghakimi Sudirman Said. Apalagi, saat sidang tertutup pun, Kahar Muzakir lah yang memimpin sidang. Orang yang berasal dari partai yang sama dengan Setyo Novanto.

Saya juga tidak mengelak apabila ada konflik kepentingan antara Sudirman Said dengan Setyo Novanto. Bahkan ada slentingan aksi pencatutan oleh Setyo Novanto akibat melihat kegagalan Sudirman Said dan Jusuf Kalla untuk meyakinkan Jokowi. Siapa yang tak tergiur dengan nilai saham Freeport yang besar?

Berkaitan dengan inti persidangan MKD, mari kita fokus pada etika Ketua DPR, Setya Novanto. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mencatut adalah tindakan menyalahgunakan kekuasaan, jabatan, nama orang, dan sebagainya untuk mencari untung. Dalam rekaman berdurasi 120 menit itu, terdapat perbincangan pembagian saham sebanyak 20%, 11% untuk Jokowi dan 9% untuk Jusuf Kalla, supaya adil, katanya. Setyo Novanto lalu meminta saham untuk PLTA di Papua.

Pencatutan ini mungkin tidak akan terjadi apabila Jokowi tidak ‘melawan arus’. Setyo Novanto yang sudah lama menjadi aparat pemerintahan mungkin sudah nyaman dengan pembagian keuntungan saham freeport. Dalam rekaman pun jelas bahwa Setyo Novanto merasa Jokowi adalah orang yang keras kepala. Bahkan terdengar nada ancaman untuk Jokowi yang menghalangi proses perpanjangan kontrak Freeport. Kenyamanan memang sering membuat orang keblinger.

Setyo Novanto tidak mengelak dengan adanya rekaman tersebut (baca: http://news.liputan6.com/read/2380602/transkrip-lengkap-rekaman-setnov-riza-chalid-dan-bos-freeport?p=4) . Dalihnya, rekaman tersebut tidak utuh, padahal tujuannya baik. Terlepas dari tujuan baik atau tidak, masyarakat tidak dapat melihatnya saat ini. Baik untuk siapa? Masyarakat kah? Yang bisa dilihat masyarakat saat ini adalah transaksi yang muncul pada rekaman tersebut. Terlepas dari konflik kepentingan yang sudah saya singgung di atas, etis kah tindakan Setyo Novanto?

Menurut Kode Etik DPR Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 3 Ayat 1 Anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, perilaku Setyo Novanto jelas telah melanggar kode etik. Perilaku pencatutan oleh Ketua DPR membawa keseluruhan anggota DPR. Pencatutan itu dilakukan demi keuntungan Setyo Novanto untuk mendapatkan kue lezat Freeport. Hal ini juga diatur pada Pasal 2 Ayat 1 Anggota dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Sebagai anggota DPR, tindakan Setyo Novanto sebagai perwakilan dari rakyat. Ia harus mengutamakan kepentingan rakyat, bukan dirinya sendiri seperti yang ada di dalam rekaman.

Selain dua pasal itu, Setyo Novanto juga melanggar Pasal 4 Ayat 2  anggota dilarang melakukan hubungan dengan Mitra Kerjanya untuk maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme. Pelanggaran ini tak perlu dijelaskan lagi. Masyarakat sudah bisa melihat transaksi yang terjadi antara PT Freeport dan Setyo Novanto dalam rekaman pencatutan Jokowi-JK.

Maka, dengan pelanggaran kode etik tersebut, seharusnya Setyo Novanto bisa dengan sadar mengundurkan diri sebagai Ketua DPR. Terkait ilegal atau tidaknya rekaman, Setyo Novanto sendiri telah mengamini rekaman tersebut. Masyarakat telah mengetahui isi rekaman. Bukan saatnya lagi menjadi orang buta dan tuli membela diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun