Kita masih belum lupa dengan kebakaran hutan yang baru saja melanda Riau dan Palangkaraya beberapa waktu belakangan. Meski hujan telah mengguyur dan membersihkan polusi udara di kedua kota tersebut, trauma keluarga akan korban jiwa yang terenggut, tak serta merta usai begitu saja. Trauma pengungsi yang mengalami penyakit ISPA mungkin saja masih belum usai.
Kalau kita mengingat pelajaran pada masa sekolah dulu, pak guru dan bu guru selalu seringkali mengajarkan kepada murid-murid tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Menjaga hijaunya hutan, adalah salah satu isinya. Namun yang kita lihat sekarang adalah, oknum-oknum pemilik perusahaan-perusahaan di Palangkaraya melakukan tindakan tidak bertanggung jawab dengan membakar hutan. Apakah mereka tidak ingat dengan pelajaran sekolah yang diajarkan sejak dahulu.
Merujuk pada janji kampanye Joko Widodo dan Jusuf Kalla, mereka mengusung Nawa Cita (Sembilan agenda) sebagai prioritas di masa kepemimpinan mereka. Salah satu isi nawa cita tersebut adalah “Revolusi mental”.
Revolusi mental yang dipahami sebagian besar masyarakat Indonesia (dan mungkin oleh Presiden Joko Widodo juga ) adalah negara yang bersih dari segala macam pungutan liar, penyelewengan dana, dan segala bentuk korupsi lainnya. Atau, revolusi mental adalah memperkuat kemampuan ekonomi seluruh masyarakat Indonesia. Tidak disadari bahwa kesadaran untuk menjaga hutan seharusnya juga masuk dalam revolusi mental juga, lho.
Negara bisa menghukum siapapun pembalak hutan. Namun bila tidak dibarengi dengan pendidikan alam sejak dini, hukum akan hanya jadi hukuman tanpa memberi efek jera. Dan generasi penerus bangsa ini akan jadi generasi perusak hutan!
Bagaimana tidak? Merusak hutan adalah cara paling efisien untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan baru. Pembalakan hutan adalah cara paling mudah untuk mendapatkan untung lebih dari proses produksi tanpa memperdulikan kebutuhan orang lain yang lebih banyak. Dan pembalakan hutan juga ide paling tidak bertanggung jawab yang dilontarkan oleh oknum-oknum perusahaan dengan dalih peningkatan ekonomi masyarakat. Asal membayar pajak, lalu bisa membakar hutan dengan seenaknya. Apakah kita senang bila generasi berikutnya adalah generasi yang serakah?
Di samping pendidikan anti-korupsi, pemerintah juga harus menggalakkan pendidikan kelestarian lingkungan. Maksud saya ialah, pendidikan yang bukan berbasis pada buku pelajaran saja, atau berbasis kelas saja, melainkan pendidikan yang berbasis wawasan lingkungan. Siswa diajak terjun langsung untuk mengamati hutan, mengamati keaneka-ragaman hayati di lingkungan sekitar mereka. Dengan begitu, mereka akan tumbuh menjadi manusia yang cinta lingkungan sehingga kelak di masa depan tidak akan melakaukan pembakaran hutan untuk mencari keuntungan pribadi. Pak Jokowi, Indonesia butuh sekolah alam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H