Mohon tunggu...
Alvina Putri Utami
Alvina Putri Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sekilas tentang sejarah dan kehidupan sosial di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Buku "Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy, dan Lukisan Raden Saleh" oleh Dr. Peter Carey

17 Juni 2022   08:27 Diperbarui: 17 Juni 2022   08:32 1539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada bulan November 1811, setelah penguasaan Inggris yang diwakili Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, diangkat seorang residen baru bernama John Crawfurd. Dalam kunjungan pertamanya ke Jawa Tengah pada bulan Desember 1811, diadakan perjanjian yang berisi pembatalan perampasan wilayah yang dilakukan Daendels.  Pada bulan April 1812, Raffles melakukan ekspedisi militer terhadap Sultan dan pada 22 Juni putra mahkota diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana II. Kraton kemudian juga dirampok dan dijarah oleh Inggris. Banyak barang berharga yang diambil diantaranya naskah naskah seperti babad-babad dan daftar tanah daerah taklukan Kerajaan Yogyakarta.

Pada 1 Agustus 1812 disahkan perjanjian yang memperkenankan perampasan bangsa Eropa terhadap daerah mancanegara, pelaksanaan bandar (gerbang tol), dan pasar. Selanjutnya, kasus-kasus orang Jawa harus diselesaikan dengan hukum atau undang-undang umum Inggris. Surakarta juga dibuat sama menderitanya dengan Yogyakarta. Raffles juga memecah belah kesetiaan Kraton dengan menjadikan Pangeran Natakusuma sebagai Pangeran Paku Alam yang berdiri sendiri (1813). Jatuhnya Kraton Yogyakarta menandai proses perubahan kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai kerajaan boneka belaka. Kejatuhan Yogyakarta telah mempercepat kemiskinan penduduknya serta membawa penghinaan yang dalam bagi kraton. Perasaan-perasaan demikian memacu upaya dan hasrat Dipanegara untuk melakukan regenerasi moral.

Sementara itu, Pangeran Dipanegara yang merupakan anak laki-laki tertua Sultan dari istri tidak resminya menjadi pengkritik utama kelompok kecil istana. Dipanegara lahir pada 1785 dan menghabiskan masa kecil sampai remajanya di Tegalreja bersama inyiknya. Pada masa mudanya, Dipanegara banyak mempelajari agama dan bersemedi. Ia memiliki pengetahuan yang luas dalam teologi agama khusunya bidah fiqh (hukum islam). Dipanegara kemudian mewarisi Tegalreja setelah kematian inyiknya pada 1803. Dipanegara juga kerap memberikan nasihat pada sang ayah (Sultan Hamengkubuwana III) selama periode kesulitan tahun 1802-1812. Pada 1814 Dipangara melangsungkan pernikahanya dengan putri Raden Rangga (pimpinan mancanegara Timur yang dulunya mengadakan pemberontakan terhadap Daendels).

Setelah kematian ayahnya, Dipanegara menjadi Pangeran Senior yang banyak memberikan pendidikan dan pengajarann kepada Sultan Mudan. Tetapi hubunganya dengan kelompok Ratu Ibu selalu tegang karena adanya rumor bahwa Dipanegara sempat akan diangkat sebagai pangeran mahkota. Meskipun tawaran tersebut ditolak tegas Dipanegara, namun desas desusnya tak kunjung reda.

Pada Agustus 1816 Nahuys Van Brugst menjadi Residen baru di Yogyakarta. Nahuys menerapkan kebijakan liberal dalam perekomomian. Dia menyewa tanah para pangeran atau bangsawan. Hingga pada 1822 seiring berakhirnya jabatan Nahuys sekitar 115 desa di Yogyakarta dan 166 desa di Surakarta telah disewakan pada orang Eropa dan China. Tanah-tanah tersebut digunakan untuk menanam komoditi ekspor Eropa. Perubahan sosial budaya juga sangat terasa karena Sultan Hamengkubuwana IV nampaknya lebih menyenangi budaya Eropa sehingga kebiasaan seperti berjudi, minuman keras, dan bahkan pakaian petugas kraton mengikuti pakaian bangsa Eropa. Penduduk yang tanahnya disewakan pada bangsa Eropa juga menjadi korban. Mereka secara paksa dikerahkan menjadi buruh. Desa-desa dicerai berai dan adat setempat diabaikan. Keadaan perekonomian pribumi diperburuk dengan penetapan sistem pajak tanah oleh Raffles. Pada saat yang bersamaan, mereka masih harus memberikan pelayanan terhadap pejabat tradisional.  Selain pajak tanah, pengelolaan gerbang tol oleh orang-orang China juga menjadi beban pribumi. Harga dan bea tol yang dikenakan sering kali melebihi barang dagangan yang dibawa pribumi. Monopoli semacam ini semakin menambah beban pribumi. Orang Jawa juga sulit mendapat keadilan atas kasus yang melibatkan bandar-bandar China, karena sejak 1814 semua sengketa menyangkut gerbang tol dirujuk ke pengadilan tinggi yang berkedudukan di Semarang.

Pada 9 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwana IV meninggal dunia dan digantikan putranya yang masih berusia 3 tahun. Pemerintahan Sultan diwalikan pada Ratu Ibu, Ibu Sultan, Pangeran Dipanegara, dan Pangeran Mangkubumi (paman Dipanegara). Wali-wali ini hanya memiliki wewenang atas masalah keuangan, sementara pelaksanaan pemerintah berada di tangan patih yang berada dibawah kuasa Belanda. Kematian sultan secara mendadak kembali menimbulkan desas-desus akan ambisi Dipanegara menguasai kraton. Hal ini juga dipicu keinginan patih Danureja yang ingin menyingkirkan Dipanegara dan pamanya.

Pada 6 Mei 1823, Gubernur Jenderal Van Der Capellen mengumumkan bahwa semua tanah Yogyakarta dan Surakarta yang disewakan kepada bangsa Eropa dan China harus dikembalikan kepada pemiliknya. Hal ini menjadi kabar baik dan buruk secara bersamaan bagi Yogyakarta. Kraton harus membayar tanah yang dikembalikan itu dengan dana dari kas kraton sendiri. Hal ini mengakibatkan kraton harus menjual banyak pusaka, memotong gaji pegawai, dan sebagainya untuk mengganti tugi tanah yang dikembalikan. Sejalan dengan hal ini, Dipanegara berusaha mengambil peran mengadakan perundingan dan menolak sejumlah tanah kurang bermanfaat yang dimintai ganti ruginya. Di sisi lain, kelompok Ratu Ibu terkena bujuk rayu residen Smissaert untuk menyetujui berkas berisi ganti rugi tanah yang nominalnya lebih tinggi dari seharusnya. Pertentangan ini menyebabkan Dipanegara menarik diri ke Tegalreja. Patih Danureja yang geram akan tindakan Dipanegara membuat kesewenang-wenangan dengan  mencabut semua jabatan sahabat terdekat Dipanegara yang bekerja di kraton. Ketegangan ini berlanjut dan diperburuk dengan adanya kebijakan Van Der Capellen untuk menyatukan wilayah Surakarta dan Yogyakarta di bawah pemerintahan pusat secara langsung.

Di Yogyakarta pemberontakan sosial bergolak secara meluas. Pada bulan Mei 1825, persiapan perang Jawa sepertinya telah digalakan Pangeran Dipanegara. Mulai 18-20 Juli , Smissaert dan Danureja berusaha mengundang pangeran Dipanegara dengan mengirim pangeran Mangkubumi ke Tegalreja namun malah berakhir dengan Mangkubumi yang memihak Dipanegara. Akhirnya pada 20 Juli dikirim ekspedisi yang berhasik merebut Tegalreja dan membuat Pangeran Dipanegara dan Mangkubumi menepi ke Selarong.

Meletusnya perang Jawa ini seiring dengan kesulitan sosial ekonomi yang melanda bagian-bagian lain pulau Jawa seperti Prabalingga, Kedu, Pekalongan, dan sebagainya. Dipanegara mendapat banyak dukungan mulai dari bangsawan, rakyat, dan bahkan juga kraton Surakarta. salah satu tokoh terkemuka yang mendukungnya adalah Kyai Maja yang berasal dari Surakarta.

Perang Jawa kemudian  menjelma menjadi perang keagamaan (perang sabil)  melawan orang kafir Belanda. Selain konsep perang sabil yang begitu mengundang massa perang Jawa adalah keyakinan bahwa Dipanegara adalah ratu adil. Perang Jawa dicirikan sebagai suatu yang bersikap konservatif, sebagai tanda bahwa masyarakat Jawa kembali ke jati dirinya setelah pengaruh bangsa Eropa. Namun, di sisi lain, Perang Jawa juga mengandung benih-benih untuk perkembangan di masa yang akan datang.

Dalam babad-babad jawa dikenal "Geger Sepoy" yakni pemberontakan tentara sewaan Inggris dari India kepada Inggris. Komplotan India ini bersekongkol dengan kraton untuk menjatuhkan Inggris namun tidak disertai persiapan yang matang. Dengan singkat komplotan Sepoy digagalkan, para pelaku dan pemimpin ditindak oleh Inggris. Kraton-kraton -- baik Surakarta dan Yogyakarta diperingatkan untuk tidak lagi bemain-main dengan Inggris. Tak lama setelah kejadian itu, tentara Inggris meninggalkan Jawa karena Nederland yang kembali berkuasa atas Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun