Orang tak akan mampu hidup sendiri, pasti dalam sedetik dan setiap langkahnya akan ada bantuan dari orang lain. Itulah kodrat nya manusia. Manusia bernafas dan berfikir. Manusia hidup berdampingan, saling menutupi dan melengkapi.
Teman adalah serangkaian ekosistem dalam lingkngan, tak ada teman berarti tak ada perasaan. Begitulah yang aku fahami.
Bocah yang masih belum dewasa ini masih proses mencari teman. Teman yang hadir dalam kesehariannya dulu, telah tersia-siakan. Aku begitu bodoh dan tak berperasaan. Seperti makan nasi tanpa ada lauk yang enak. Itulah penggambaran pertemananku dahulu.
Pikiran yang masih ku ingat, aku tidak begitu menghargai keberadaan mereka di samping ku. Aku begitu ambis untuk diri ku sendiri, ambis untuk melepas semua rasa sesak yang ku alami. Padahal mereka selalu ada tapi seakan aku mengacuhkannya. Yaa, bisa dikatakan aku egois. Tapi bagi bocah sekecil itu masih perlu pendampingan, dan kasih sayang yang dia harapkan.
Di lingkungan sekitar rumah ku dulu adalah teman masa kecil ku. Dari mereka aku juga merasakan pengintimidasian, pelecehan, dan juga kebohongan. Pemicu awal adalah mereka. Bukan maksud aku menyalahkan mereka, tapi memang aku merasakannya. Pengalaman yang ku dapat dari berteman dengan mereka, menciptakan sebuah memori yang ingin aku delete, tapi masih di recycle. Aku masih membiarkannya, tapi sudah tak pernah ku sentuh.
Ada teman yang selalu ingin jadikan sahabat yang dekat, aku mengharapkan teman sejati.. akan tetapi ada yang tidak mendukung kami. Aku bukan anak yang benar-benar penurut. Walaupun aku menuruti perkataan atau tindakan yang diharapkan orang lain, sejujurnya aku terpaksa melakukannnya.
Temanku yang terdekat adalah teman yang sering membuat aku kecewa, teman yang ingin aku bahagiakan, dan yang ingin aku semogakan keberhasilannya. Tapi mungkin hal itu tidak tampak dan terlihat oleh nya, sehingga kita hanya menjalani seperti hari-hari biasa. Aku berkorban. Seakan aku memberikan peluang keberhasilanku padanya. Aku benar-benar kecewa , ketika aku di desak untuk melakukannya, dan pada akhirnya aku tetap di kucilkan. Diriku menangis dalam diam, di rumah aku mendapat teguran dari orang tua. Â Aku ingin jujur, tapi nanti masalah akan tambah pelik dan runyam. Aku berfikir aku tidak boleh mengadu, aku faham itu adalah masalah ku bukan masalah orang tua, dan aku harus mampu menyelesaikannya.
Teman sebangku itu masih menjadi teman baik, sampai sekarang walau kadang kita canggung akan masa lalu yang telah kita lewati. Kita sama-sama wanita yang berperasa, sangat mudah tersinggung dan juga tersentuh. Kita mencoba menguatkan diri dan tetap berdiri bergandengan tangan.
Teman ku itu adalah orang yang mengerti aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H