Tulisan kali ini adalah opini pribadi dan sengaja saya publish pasca pilkada untuk menghindari unsur provokatif terkait niatan pembaca dalam memilih. Mohon bijak dalam membaca isi setelah judul.
Tanggal 9 Desember 2020 kemarin menjadi hari yang berbeda karena sepanjang sejarah untuk pertama kalinya Indonesia mengadakan pemilihan kepala daerah serentak dalam kondisi pandemi. Pandemi jelas membuat segala suasana pemilihan berbeda karena semua agendanya harus dilakukan berpegang kepada protokol kesehatan.Â
Emak-emak yang datang pagi-pagi menghindari kerumunan, tim TPS yang siap begadang, para pekerja yang kecewa tanggal merahnya di tengah hari kerja, sampai aroma handsanitizer mewarnai pemilihan kali ini. Sedikitnya promo diskon bagi yang memiliki jari berwarna ungu pun menjadi kekecewaan tersendiri terutama bagi pemburu diskon seperti saya.
Satu hal paling berbeda bagi saya dalam pemilihan kali ini ialah kenyataan bahwa saya memilih untuk tidak memilih calon mana pun di kota saya tinggal. Malas gerak? Tidak. Apatis? Hmm gak kok. Gak ada calon bagus? Ada kok sebenarnya. Kecewa? IYA.
Rasanya tidak memilih adalah sebuah bentuk respon kekecewaan saya atas karut marutnya beragam hal yang terjadi di Indonesia ini akhir-akhir ini. Bukan salah rakyat, tapi ya mungkin 'oknum-oknum' oligarki pemerintahan itu yang buat saya sebel.
Pembungkaman kritik, tindakan represif aparat, pelemahan oposisi, hingga framing beberapa media apalagi dengan adanya buzzer makin membuat kabur segala pemberitaan. Berdasarkan data KontraS diketahui dalam satu tahun masa pemerintahan diketahui tercatat terdapat 157 pelanggaran kebebasan sipil di masyarakat. Hal ini semakin diperparah dengan ditangkapnya dua menteri hanya dalam waktu dua pekan. Kecewa gak?
Rasa kecewa pada diri saya juga merupakan akumulasi atas respon buruk dan feedback dari pemerintah atas berbagai suara rakyat. Sebelum covid melanda pun, aksi masyarakat yang turun menyuarakan UU KPK bahkan tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari pihak pemerintah. Tahun ini makin diperparah dengan turn off mic oleh Ibu Puan dan keputusan RUU Ciptaker yang akhirnya diloloskan.Â
Hingga suatu perguruan tinggi pun ikut-ikutan dengan "memulangkan" mahasiswanya yang menyuarakan haknya melalui KPK atas dugaan korupsi rektornya. Menjadi semakin asik kala beberapa media seakan selalu memberikan pemberitaan yang sangat "pro-pemerintah" atau minimal cari aman, pokoknya pemerintah selalu positif vibes lah di mata kita.
Lah, kenapa yang jadi korban malah pilkadanya, Vin? Yap mau gimana lagi, keputusan pilkada tetap dilaksanakan tidak lepas dari keputusan pemerintah itu sendiri. Melihat performa pemerintahan sekarang saya makin merasa siapa pun wali kota saya tidak bakal luput dari jari jemari pemerintah, partai, dan pihak-pihak tertentu. Apalagi beberapa calon di kota saya masih berkerabat dengan orang-orang pemerintah. Praktik halus dalam melanggengkan dinasti masih sangat terlihat, haduh. Â
Kata siapa pilihan saya untuk tidak memilih bukanlah pilihan cerdas? Untuk tidak memilih pun saya juga melakukan observasi baik dari konten, poster-poster calon sampai debat publik yang mungkin minim mengangkat hal-hal urgen bagi kota saya.Â