Setelah dihargai keberadaanya, maka selanjutnya perawat harus menunjukkan sikap compassion pada pasien yang ditanganinya. Compassion diartikan sebagai rasa iba pada kondisi pasien  (Riskika, S., et al., 2022). Rasa iba ini dapat diartikan juga sebagai rasa sayang pada pasien. Rasa iba ini dapat diperoleh dengan melihat wajah pasien sebagai gambaran penderitaan yang dialami pasien  (DPP PPNI., 2017). Oleh sebab itu, perawat dapat menunjukkan rasa sayangnya pada ODHA dengan melihat gambaran penderitaan pada wajah ODHA. Timbulnya rasa sayang ini akan menyebabkan timbulnya empati pada perawat.Â
Emphaty pada diri seorang perawat akan membuat perawat dapat membayangkan dirinya berada berada pada posisi yang sedang dialami ODHA. Emphaty merupakan kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan oleh pasien. Pemahaman yang baik ini tentunya dapat menggerakkan perawat untuk memberikan perawatan yang manusiawi dan terbaik sesuai dengan etik keperawatan (Riskika, S., et al., 2022).Â
Perawatan yang manusiawi dan terbaik dapat perawat maksimalkan dengan melaksanakan peran sebagai advokat yang mengemban sikap advocacy. Advocacy diartikan sebagai sikap melindungi pasien selama berada dalam asuhan keperawatan (DPP PPNI., 2017). Perawat dapat melindungi ODHA dari setiap stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan memastikan pasien mendapatkan hak-haknya pada pelayanan kesehatan. Sebagai advokator, perawat juga dapat melakukan advokasi dengan instansi kesehatan dan kepala rumah sakit. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pandangan dan pemahaman tenaga kesehatan terhadap ODHA serta meningkatkan program manajemen mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit (Maharani, R., 2014).Â
Pelaksanaan etik keperawatan berupa advocacy merupakan salah satu langkah dalam menciptakan kedekatan antara perawat dengan pasien. Kedekatan dalam etik keperawatan disebut dengan intimacy (Riskika, S., et al., 2022). Kedekatan ini digambarkan seperti hubungan ibu dengan anaknya (DPP PPNI., 2017).  Kedekatan dapat membuat ODHA merasa dipahami, diberikan kasih sayang, diberikan empati, dan dipenuhi hak-haknya sebagai pasien. Hal ini disebabkan karena intimacy merupakan buah dari penerapan empat pilar etik keperawatan berupa respect to others, compassion, empathy dan advocacy.Â
Stigma dan diskriminasi ODHA sudah sepantasnya lenyap pada semua tempat maupun lingkungan, termasuk pada pelayanan kesehatan. Hal ini ditujukan agar tetap terjaganya kesehatan mental ODHA sehingga kualitas hidup ODHA dapat semakin membaik  secara perlahan. Penerapan lima pilar etik keperawatan merupakan salah satu langkah perawat dalam mewujudkan pelayanan bebas stigma dan diskriminasi ODHA pada pelayanan kesehatan. Pengembangan penerapan etik keperawatan dapat terus perawat lakukan dengan menerapkan sikap caring yang merupakan  landasan dalam asuhan keperawatan.  Oleh sebab itu, maka setiap perawat harus terus melatih dirinya dalam mengembangkan sikap caring agar etik keperawatan dapat terus tertanam dan menjadi pedoman dalam memberikan asuhan keperawatan.
Referensi
Dewan Pengurus Pusat PPNI. (2017). Pedoman Perilaku Sebagai Penjabaran Kode Etik Keperawatan: PPNI
Hudzaifah, A. F., & Ningrum, T. P. (2021). Hubungan stigma HIV dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan BSI, 9(1), 68-73.
Maharani, R. (2014). Stigma dan Diskriminasi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada Pelayanan Kesehatan di Kota Pekanbaru Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Komunitas, 2(5), 225-232.
Martiningsih, M., Haris, A., & Wulandari, A. (2018). Stigma petugas kesehatan terhadap pasien HIV/AIDS dan problem solving. Jurnal Kesehatan Prima, 9(2), 1471-1477.
Paryati, T., Raksanagara, A. S., Afriandi, I., & Kunci, K. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma dan diskriminasi kepada ODHA (orang dengan HIV/AIDS) oleh petugas kesehatan: kajian literatur. Univ Padjajaran Bandung.