Album ketiga dari band Efek Rumah Kaca yang berjudul “Sinestesia” merupakan sebuah album dengan penuh idealisme karena Efek Rumah Kaca mengerjakan album ini dengan perasaan merdeka, tidak peduli dengan deadline dan pendapat dari orang lain. Sintestesia ini lahir pada 18 Desember 2015 setelah 7 tahun sebelumnya ERK merilis Kamar Gelap (2008) dan Efek Rumah Kaca (2007). Album ini dirilis dengan 6 track yang berisikan warna warna, seperti: Merah, Biru, Jingga, Hijau, Putih, dan Kuning.
Sinestesia lahir dengan seluruh track menggunakan warna – warna karena sang bassist yaitu Adrian Yunan. Track yang ada di album ini tercipta ketika Adrian yang memiliki penyakit yang menyerang indra penglihatannya, namun dari situ justru membuat indra pendengaran Adrian semakin peka, dia mendengarkan lagu – lagu dan seolah – olah melihat sebuah warna
Dari lagu yang pertama, tabuhan drummer Akbar Bagus Sudibyo langsung mengajak dengan lantang dan memberikan energi yang besar kepada para pendengar. Dimulai dari fragmen awal bertajuk “Ilmu Politik”, dari lirik (“dan kita arak mereka / bandit menjadi panglima”) seakan Efek Rumah Kaca mengingatkan publik bahwa kita bersikap antipati terhadap dunia politik sehingga para bandit menjadi panglima atau menjadi pemimpin rakyat,
Lalu di lirik (“Politik terlalu amis / dan kita teramat necis”) ini, Efek Rumah Kaca seakan ingin menyampaikan bahwa politik yang ada di Indonesia sangatlah busuk sampai berbau amis, namun kita sebagai warga negara Indonesia malah sibuk mengurusi diri sendiri. Di lirik (“Slalu angkat mereka / sampah jadi pemuka”), ini mengartikan bahwa orang orang atasan di politik kebanyakan tidak kredibel atas pekerjaannya, seperti anggota dpr banyak yang tidur saat rapat.
Memasuki fragmen “Lara dimana mana” menyambung dengan peragaan Efek Rumah Kaca tentang Emosi yang tenang, dan membuat rasa optimis dalam semangat melawan politik yang sedang terjadi saat ini seperti di lirik (“Keajaiban dan khayalan taruh di awan”) (“Kenyataan dalam penuh luka”) lalu ke (“Dari elang, kepalkan tangan”)
Lalu di fragmen “Ada ada saja” Efek Rumah Kaca membuat optimisme tadi berubah menjadi satir saat Efek Rumah Kaca mencoba mencari tau berbagai jenis karakter masyarakat kita dalam menyikapi kondisi politik, seperti di lirik (“sang martir, inginnya adu fisik “) (“cupet dan sesat pikir, buah intrik politik”) lalu ke (“Ada – ada sifat kawan kita”) (“Dipelihara dan budidaya”). Lalu mereka mengakhiri fragmen ini dengan lirik (“mukjizat, hanya ada di zaman nabi”) yang berarti semua persoalan politik harus di hadapi dengan gagah dan berani.
“Merah” yang berarti menyala dan berapi api ini ditunjukan karena banyak yang geram atas persoalan politik di Indonesia yang tidak selesai – selesai dan kondisi politik semakin buruk, namun di sisi lain ada rasa optimisme yang tumbuh dari para punggawa Efek Rumah Kaca.
Lagu kedua yaitu “Biru” ada dua gabungan fragmen yang melebur yaitu “Pasar bisa diciptakan” dan “Cipta bisa dipasarkan”, ini sebenarnya merupakan kegelisahan Efek Rumah Kaca terhadap atas industri musik atau industri kreatif.
Pada cara kerja industri musik konvensional yang cenderung mengutamakan komersialisme bertumpu pada yang sedang trend di pasaran, sedangkan Efek Rumah Kaca ingin menciptakan apa yang mereka cintai, namun ini bisa berkaitan dengan politik karena di fragmen “Pasar bisa diciptakan” di lirik (“Menembus rimba dan belatara sendiri”) dan (“Membangun kota dan peradaban sendiri”) bisa di ibaratkan mereka sudah muak dengan politik saat itu sehingga mereka lebih memilih membangun kota dan peradaban sendiri, menembus rimba dan belantara sendiri, yang pasti mereka akan berpihak kepada rakyatnya.
Lalu di fragmen “Cipta bisa dipasarkan” yang bisa kita rasakan akan adanya semangat, rasa berjuang yang telah mereka lalui dari rasa takut dan rasa tersiksa karena politik yang jahat ini, bisa di lihat di lirik (“Oh cahaya, akhirnya kita sampai juga”) (“Berbinar – binar hidup bergelora”) yang seakan akan mereka sampai di tujuannya. Lalu di lirik (“Imajinasi rasa takut larut didalamnya”) (“Tak terkira siksanya, hingga capai bahagia”) seakan akan bahwa kita sudah berhasil melewati fase kesusahan, takut akan politik yang buruk. Mungkin “Biru” ini di ibaratkan seperti air laut yang bergelombang penuh semangat untuk menghantam pemecah ombak.
Masuk ke track ke 3 yaitu “Jingga” yang memiliki tiga fragmen yaitu “Hilang”, “Nyala tak terperi”, dan juga “Cahaya, ayo berdansa”. Dibuka dengan fragmen “Hilang” yang bercerita tentang bagaimana semangatnya perjuangan orang orang ataupun keluarga ataupun kerabat yang mencari keadilan dan juga mencari tau nasib keluarga atau kerabatnya yang menjadi korban penghilangan manusia di rezim Orde Baru dengan melakukan aksi damai di seberang Istana Merdeka setiap hari Kamis atau yang biasanya kita kenal dengan Kamisan. Aksi ini pertama kali ada di tahun 2009 yang salah satunya berasal dari ide ibu Sumarsih yang anaknya yaitu alm. Wawan tertembak oleh aparat di sekitaran kampus Atma Jaya atau biasa kita dengar dengan tragedi Semanggi I.