Mohon tunggu...
Alvie Aviyat
Alvie Aviyat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Mahasiswa Hubungan Internasional di UPN "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Pertahanan Indonesia Era Presiden SBY dalam Menjaga Kedaulatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna

13 Desember 2024   23:11 Diperbarui: 13 Desember 2024   23:37 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepulauan Natuna, yang terletak di perairan Laut China Selatan, memiliki arti strategis bagi Indonesia, baik secara geografis maupun ekonomi. Wilayah ini merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan hukum internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Namun, klaim Tiongkok melalui peta sembilan garis putus - putus (nine-dash line) yang mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan menggambarkan perairan di sekitar Natuna termasuk kedalam wilayahnya. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004--2014), pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal nelayan asing di ZEE Indonesia menjadi tantangan besar yang mengancam kedaulatan, stabilitas, dan keamanan nasional di wilayah perairan Natuna.

Pada era pemerintahan Presiden SBY, Indonesia menempuh pendekatan tegas untuk menjaga wilayah perairan tanpa bergantung pada kerja sama asing. Langkah ini menunjukkan elemen self-help yang senada dengan teori realisme dalam hubungan internasional. Dengan memanfaatkan kekuatan militer, regulasi hukum, dan sumber daya nasional, Indonesia menunjukkan tekadnya untuk mempertahankan kedaulatan di tengah dinamika geopolitik regional yang rumit.

Dalam teori realisme, negara dipandang sebagai aktor utama yang bertindak untuk mempertahankan kepentingan nasional dan kedaulatan di tengah sistem internasional yang anarkis. Dalam konteks ZEE di perairan Natuna, kebijakan Indonesia dapat dianalisis melalui tiga aspek utama: penegakan kedaulatan, peningkatan kapabilitas militer, dan demonstrasi kekuatan untuk mencegah pelanggaran di masa depan.

Pertama, penegakan kedaulatan dilakukan secara mandiri melalui patroli intensif di perairan Natuna. Sejak 2009 TNI Angkatan Laut dan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakamla) telah aktif menggelar operasi rutin di pos - pos terluar untuk menangkap kapal-kapal nelayan asing yang memasuki wilayah Indonesia secara ilegal. Namun kerap kali terjadi intervensi kapal China dalam upaya penyitaan kapal, maupun upaya penegakan hukum pada nelayan - nelayan asing tersebut seperti yang terjadi beberapa kali pada kapal Yuzheng milik China dalam rentan tahun 2009 - 2013. Kapal China tersebut kerap mengancam dan mengkonfrontasi awak kapal KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) Indonesia. 

Indonesia juga sudah mengeluarkan Peraturan Presiden No.41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2010-2014 yang  menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan Sistem Pertahanan Negara. Di dalamnya Indonesia memodifikasi strategi pertahanannya dengan mengubah kawasan Natuna sebagai salah satu kawasan pertahanan strategis ke dalam rencana Minimum Essential Forces (MEF).

Kedua, peningkatan kapabilitas militer dilakukan melalui modernisasi armada TNI AL. Pemerintahan SBY meluncurkan program Minimum Essential Force (MEF) pada 2009. Kerangka kebijakan ini mencakup pembangunan kekuatan pertahanan untuk menciptakan kekuatan pertahanan yang memadai, efektif, dan berdaya tangkal sesuai dengan kebutuhan minimum negara dalam menjaga kedaulatan dan keamanan nasional. Era SBY mencanangkan peningkatan signifikan pada anggaran pertahanan dan pengadaan alutsista, seperti pesawat tempur Sukhoi, kapal selam, tank Leopard, dan radar modern. Hal ini menjadi fondasi bagi modernisasi pertahanan yang terus berlanjut hingga sekarang.menjadi fondasi bagi modernisasi pertahanan yang terus berlanjut hingga sekarang.

Ketiga, Indonesia menggunakan demonstrasi kekuatan sebagai bentuk diplomasi koersif atau strategi dalam hubungan internasional yang memadukan ancaman atau penggunaan kekuatan dengan upaya diplomasi untuk memengaruhi perilaku negara lain tanpa memicu konflik terbuka. Tujuannya adalah untuk memaksa atau meyakinkan pihak lain agar mengambil tindakan tertentu atau menghentikan tindakan yang dianggap merugikan kepentingan negara pengguna strategi ini. Pada era SBY strategi ini meliputi langkah tegas seperti patroli militer intensif, latihan gabungan di kawasan Natuna, pembangunan pangkalan militer dan radar untuk meningkatkan pengawasan, serta dimulainya penenggelaman kapal - kapal asing yang masih berusaha masuk. Strategi ini diperkuat dengan penerapan perubahan peta maritim yang secara resmi menamakan wilayah tersebut sebagai Laut Natuna Utara, guna menegaskan klaim kedaulatan Indonesia atas wilayah tersebut.

 Langkah ini dapat diibaratkan seperti "mengunci pintu rumah untuk mencegah pencuri masuk," di mana Indonesia memperlihatkan sikap tegas untuk melindungi wilayahnya. Namun, kebijakan ini juga menghadapi kritik. Beberapa pengamat, seperti Jones (2013) dalam artikel "Indonesia's Maritime Challenges," berpendapat bahwa pendekatan sepenuhnya mandiri tanpa melibatkan kerja sama asing bisa mengisolasi Indonesia dari dinamika geopolitik regional. Namun, dari perspektif realisme, kebijakan ini adalah bentuk kemandirian yang memperkuat kapabilitas domestik dalam menghadapi ancaman eksternal. Selain itu, dengan memprioritaskan penegakan kedaulatan melalui operasi mandiri, modernisasi militer, dan langkah koersif seperti penenggelaman kapal, Indonesia menunjukkan sikap tegas terhadap pelanggaran wilayahnya. 

Pendekatan ini memberikan pelajaran penting bahwa dalam konteks geopolitik yang kompleks, negara harus mampu mengandalkan sumber dayanya sendiri untuk melindungi kepentingan nasional. Meskipun tidak melibatkan mekanisme kerja sama asing, kebijakan ini mencerminkan posisi Indonesia sebagai negara yang tegas dan mandiri dalam menjaga kedaulatan. Keberanian untuk bertindak tegas seperti ini adalah elemen utama dalam mempertahankan posisi strategis di tengah tantangan internasional.

Di sisi lain, pendekatan realisme ini juga memperlihatkan keberhasilan. Strategi pertahanan mandiri menghindarkan Indonesia dari keterlibatan dalam konflik besar di Laut Cina Selatan, sekaligus memperkuat posisi sebagai pemimpin maritim di Asia Tenggara. Pendekatan ini mencerminkan prinsip pragmatis dalam diplomasi dan keamanan, di mana fokus diberikan pada kepentingan nasional tanpa terjebak dalam dinamika geopolitik internasional yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun