Mohon tunggu...
Alvi Anugerah
Alvi Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis jika sedang menggebu-gebu

Humaniora Universal.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Catatan untuk Para Pendekar (Film) Silat: Review Film “Pendekar Tongkat Emas”

24 Desember 2014   20:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:32 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eva Celia, pemeran Dara dalam "Pendekar Tongkat Emas" Sumber: Tribunnews.com

Waktu 2 jam hampir saja berlalu ketika alunan suara Anggun C. Sasmi yang menyanyikan lagu Soundtrack “Pendekar Tongkat Emas” (selanjutnya disingkat PTE) menutup film silat kolosal yang konon kehadirannya ditunggu-tunggu para pemirsa bioskop itu. Sontak, pertanyaan pertama langsung mendesak benak: Cerita silat mana yang membuat Mira Lesmana terinspirasi menggarap film ini?

Pertanyaan saya terjawab keesokan harinya ketika menonton Behind The Scenes PTE di Kompas TV. Henky. Mira Lesmana terinspirasi oleh cerita-cerita silat yang ditulis oleh Henky. Riset kecil-kecilan saya di situs henrykomik.com menemukan siapa sebenarnya tokoh yang jadi insiprasi Mira.  Beberapa karakter, cerita, serta latar komik yang Henky buat mengadopsi cerita-cerita silat karangan Kho  Ping Hoo. Bahkan, cerita “Pendekar Bangau Sakti” Henky diadopsi dari cersil (cerita silat) “Bangau Sakti” karya Woo Leng Seng.

Jejak Henky ini penting adanya untuk kemudian mencari gaya cerita silat yang pada akhirnya dirumuskan oleh tiga punggawa penting dalam film ini: Riri Riza, Mira Lesmana, dan sang sutradara Ifa Isfansyah. Jelaslah, saya tak boleh lancang mengkritisi latar apa yang dipakai film ini, meskipun Ifa menjelaskan di Behind The Scenes bahwa latar film ini adalah antah berantah, maksudnya adalah zaman yang tidak diketahui waktu pastinya. Bisa jadi, zaman yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Merujuk pada Henky yang acapkali “melokalkan” cerita-cerita silat yang ia adopsi dari cerita silat Tiongkok, hal demikian kurang terasa pada film ini. Selain mengambil latar waktu dan tempat yang absurd, unsur musik, pakaian, gaya rambut, terlebih gaya bertarung para pendekar tidak jelas merujuk pada identitas etnik mana. Gaya rambut dan pakaian semua pemain hampir pasti mengikuti gaya cerita-cerita silat ala Tiongkok. Gaya bertarungnya apalagi. Mirla sengaja mendatangkan pelatih koreografi yang telah banyak melatih para aktor Hollywood. Dan setelah diketahui bahwa latar belakang pelatih koreo tersebut adalah beladiri Wushu, maka jelas sudah, bukan etnik beladiri lokal Indonesia yang dipakai. Hal ini tentu tak sejalan dengan keinginan Mira yang ingin mengangkat kembali cerita-cerita serta komik silat “Indonesia” ke layar lebar.

Film Silat yang Kurang Silat

Lagi-lagi berangkat dari Behind the Scenes PTE. Di situ, Ifa menjelaskan tentang alasannya mencomot aktor-aktor dengan akting mumpuni untuk bermain film ini. “Meskipun film silat, tapi bagian dramanya yang lebih kutonjolkan, bukan semata-semata berantem,” begitu ujarnya.

Opini Ifa jelas merupakan hak prerogatifnya sebagai sutradara. Namun, jika berangkat dari tema  besarnya, yakni “film genre silat”, maka entri silat dipaksa harus jadi pemeran utamanya. Bukan malah dramanya. Adegan-adegan fight pada film ini cenderung menggantung, tak tuntas, serasa ada yang kurang, atau gampangnya, adegan fightnya kurang greget. Penonton di bioskop tidak dibuat ikut meringis, mengaduh, atau khawatir Dara (Eva Celia) dan Angin (Aria Kusumah) terkena pukulan. Penonton juga tidak ikutan dendam yang sungguh terlalu tatkala sang guru Cempaka harus mati di tangan Biru (Reza Rahadian), muridnya sendiri.

Adegan final fight, pertarungan antara Gerhana (Tara Basro), Elang (Nicholas Saputra), Biru dan Dara, yang dibuat selama 2 minggu lamanya (menurut penuturan Ifa) nyatanya lagi-lagi tidak membuat penonton berdecak terlalu kagum. Meskipun saya setuju salah satu opini Ifa bahwa film silat tak melulu wajib mempertontonkan darah sebagai efek utamanya.

[caption id="attachment_361556" align="aligncenter" width="300" caption="Poster Film "]

1419403601426844294
1419403601426844294
[/caption]

Tak disangkal, Eva Celia yang didapuk menjadi pewaris tongkat emas adalah tokoh paling utama diantara tokoh-tokoh utama yang ada. Memang, di awal, sosok Dara yang diperankan Eva dicitrakan sebagai pendekar wanita muda yang ilmu silatnya masih apa adanya. Namun, di tengah-tengah film sampai menjelang pertarungan memperebutkan tongkat emas, Dara telah berlatih keras bersama Elang untuk meningkatkan kemampuan silatnya. Tapi kenyataannya, gerak gerik silat Dara di Final Fight tidak menunjukkan bahwa ia telah berlatih keras. Ifa kurang cermat melihat kemampuan Eva Celia dalam hal koreografi fighting. Tak mengapa jika pewaris tongkat emasnya ialah wanita. Namun, akan lebih baik jika Ifa mencari peran Dara ialah sosok wanita tangguh yang minimal telah punya kemampuan dasar bela diri.

Film silat PTE juga terasa kurang silat ketika tidak menyuguhkan berbagai macam nama dan jurus silat yang jadi ciri khas cerita-cerita silat di Indonesia. Wiro Sableng, pendekar kapak Naga Geni yang terkenal dengan angka 212 nya saja memiliki tak kurang dari 19 jurus. 19 jurus yang dimaksud tak termasuk pukulan-pukulan sakti beserta Kapak Naga Geni yang acapkali jadi senjata pamungkasnya. Penonton PTE disuguhkan hanya oleh satu saja jurus pertama dan pamungkas dari film tersebut, yakni jurus “pendekar tongkat emas melingkar bumi,” jurus yang belakangan diketahui hanya bisa digunakan oleh dua orang yang mau menyatukan jiwanya. Bisa juga diandai-andai bahwa film silat tanpa jurus ibarat sayur tak pakai garam. Pastinya menarik jika masing-masing dari tokoh penting dalam film tersebut punya jurus andalannya masing-masing.

Mempertanyakan Makna “Film Silat”

Saya tak melihat makna kata silat sesungguhnya ketika entri silat kembali menyeruak ke permukaan jagad film Indonesia. Mengapa sedari dulu, film-film maupun serial-serial tayangan impor dari luar negeri yang mengambil setting antah berantah, ada bumbu drama dan pertarungan fisik tentunya, disebut film silat. Padahal, tak ada unsur beladiri silat di sana. Kalau bukan kungfu, wushu, atau beladiri lain yang bukan silat.  Meskipun jika ditelisik, ada unsur-unsur Tionghoa berbaur di beladiri silat, beladiri asli Indonesia. Tapi tak hanya Tionghoa, ada juga unsur melayunya, bahkan unsur kearab-arabannya. Lantas, apa yang membuat film yang selama ini dicap film genre silat disebut film genre silat? Padahal, tak ada unsur silat sedikit pun di sana. Setidaknya, minim unsur silat.

[caption id="attachment_361557" align="aligncenter" width="300" caption="Elang, dalam Film"]

14194036862091266783
14194036862091266783
[/caption]

Malahan, 3 film cipta karya Gareth Evans, Merantau, the Raid 1 & 2 adalah sangat layak dikatakan film silat. Lebih spesifik dari film laga. Tiga film itu tidak hanya mengedepankan bertengkar cepat dan berdarah semata, tapi juga mengadopsi unsur-unsur silat sebagai koreografi utamanya. Lihat saja kembali Youtube, bagaimana kuda-kuda cantik khas Pencak Silat Yayat Ruhiyan dan Iko Uwais dipertontonkan. Terlebih, Yayat dan Iko berasal dari satu perguruan silat yang sama, perguruan silat tiga berantai. Jadi, apakah selama ini pemahaman kita terbalik-balik, menyematkan film yang seharusnya film laga malah jadi film silat, atau menyematkan predikat film silat malah jadi film laga?

Maka, beranjak dari ulasan tadi, opini majalah “Detik” yang menyebutkan bahwa teknis garapan film PTE berada di atas kelas  “Si Buta dari Goa Hantu”, bahkan film “Saur Sepuh” yang mendapatkan piala dari FFI tahun 1988 adalah opini yang patut dikaji dan dipertimbangkan lagi. Majalah “Detik” edisi 22-28 Desember 2014 tersebut menyamakan garapan film ini mendekati kualitas “Crouch Tiger”  dan “Hidden Dragon”.

Terlepas dari catatan-catatan tadi, eksplorasi lansekap Sumba yang jadi prioritas tayang film ini adalah niat baik KG Studio dan Mirles untuk menampilkan seksinya alam indonesia. Tentunya, niat ini sejalan dengan visi Keindonesian yang acapkali digaungkan Grup Kompas Gramedia. Alur cerita nan sederhana, tentang dendam dan ambisi berkuasa, begitu mencitrakan ciri khas manusia Indonesia dari zaman antah berantah hingga saat ini: dendam dan cenderung ingin berkuasa.

Beruntung, Ifa atau Seno Gumira Ajidarma, Sastrawan yang dipercaya Mira untuk menulis naskah film ini,  tak ketinggalan zaman memilih nama-nama tokoh pendekar. Pemilihan nama-nama nan elegan seperti Biru, Gerhana, Dara, dan Angin terasa mengikuti perkembangan zaman tentang kegemaran orang-orang zaman sekarang memberikan nama anaknya dengan nama-nama elegan. Seno juga tak melupakan ciri khas sebuah film silat tentang dialog-dialog tokoh yang sarat makna filosofis, seperti “Jiwa besar tidak menghendaki apa-apa meski ia bisa mendapatkannya. Hanya jiwa kerdil yang menghendaki banyak padahal ia takkan bisa mendapatkannya.”  Beruntung, dialog-dialog pemeran PTE tak kalah kelas dengan ujaran-ujaran Jet Li di tiap film kungfunya.

[caption id="attachment_361558" align="aligncenter" width="528" caption="Berlatih! sumber: muvilla.com"]

14194037831714273689
14194037831714273689
[/caption]

Catatan ini tak bermaksud mengusik dunia (perfilman) silat yang kembali menggeliat. Justru, catatan ini punya harapan besar, tentang hidup dan jayanya lagi dunia silat, silat yang sesungguhnya silat, ya!

Salam hyaaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun