Mohon tunggu...
Alvi Anugerah
Alvi Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis jika sedang menggebu-gebu

Humaniora Universal.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mau Menunggu #Save Siapa Lagi, Pak Jokowi?

10 Maret 2015   16:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:51 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_372344" align="aligncenter" width="558" caption="Salah satu meme semangat memberantas korupsi/tempo.co"][/caption]

Seno Gumira Ajidarma, dalam tulisannya di rubrik “pendapat” Koran Tempo pada Juni tahun 2014 silam, mewanti-wanti tentang pentingnya pengawasan militerisme yang bermain di ranah politik. Militerisme dalam politik/penyelenggaraan tata kelola negara di berbagai belahan dunia terbukti telah banyak melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter dan totaliter. Seno pun mengutip temuan Ernst Juenger, Penulis yang juga filsuf asal Jerman, yang menyebut bahwa totaliter merupakan sebuah mobilisasi militer. Intinya, militer adalah momok menakutkan bagi mereka yang menyalahgunakan.

Indonesia saat ini memang tidak seperti itu. Iklim demokrasi di sini bahkan banyak dipuji-puji. Melihat celah dan keadaan kekinian, hampir mustahil TNI melakukan sebuah upaya kudeta militer untuk kemudian melahirkan rezim otoriter dan totaliter.

Namun, yang terjadi malah anomali setelah saya melihat rentetan kasus penangkapan dan penetapan status tersangka hampir semua pimpinan KPK yang diterbitkan oleh POLRI. Belakangan, penyidik andal KPK, Novel Baswedan, pun ikut kena getahnya setelah kasusnya beberapa tahun silam kembali disidik POLRI. Denny Indrayana, Yunus Husein, dan majalah Tempo,  yang notabene proaktif melakukan upaya pemberantasan korupsi di bidangnya masing-masing,  juga ikut-ikutan dilaporkan POLRI atas dasar kasus yang belum jelas juntrungannya.

Lantas, di mana anomalinya? Bukankah pengaduan masyarakat kepada polisi lumrah untuk ditindak? Apa korelasinya dengan sistem otoriter dan totaliter yang akrab dengan dunia militer?

Polisi, Otoriter, dan Asas Praduga Bersalah

Menjawab pertanyaan pertama yang tadi saya lontarkan, mayoritas masyarakat yang mengikuti perkembangan berita terkini pasti tahu bahwa media-media mayoritas menyebut serial penangkapan orang-orang di atas dengan judul “Kriminalisasi”.  Rentetan penetapan status terlapor dan tersangka kepada orang-orang di atas, yang semuanya adalah punggawa pemberantasan korupsi, adalah hal yang anomali. Terlebih rentetan itu terjadi setelah KPK menetapkan Komjen BG sebagai tersangka. Terlebih lagi, mayoritas media memberitakan kejanggalan proses penyidikan, penetapan, hingga penangkapan orang-orang tadi.

Saya teringat dengan Soeharto melihat rentetan penangkapan yang dilakukan POLRI. Saya memang masih kecil tatkala Soeharto berkuasa. Tapi cerita-cerita para tetua yang hidup jaman beliau berkuasalah yang menguatkan hipotesa saya. Soeharto tanpa tedeng aling-aling memperkarakan mereka yang tak sejalan dengan cita-cita pemerintah. Jangankan cita-cita, mengusik walau sedikit nama baik Pak Harto, bui bisa jadi buntutnya.

Apa yang dilakukan POLRI kurang lebih serupa. POLRI menangkap orang-orang yang dianggap tidak sejalan dengan institusinya disertai dengan banyaknya kejanggalan. Di sisi lain, Dalih POLRI memang cukup kuat, karena laporan dari masyarakat dan berbekal statement Presiden Jokowi yang “tidak mau intervensi hukum”. Itu sisi POLRI. Masyarakat luas pun punya sisi lain yang menganggap tindakan POLRI adalah tidak tepat.

Hukum kita mengatur asas praduga bersalah (presumption of guilt). Asas ini merupakan negasi dari asas praduga bersalah yang lebih akrab di telinga masyarakat. Asas praduga bersalah cenderung ditujukan kepada warga negara yang memegang jabatan sebagai pejabat negara, termasuk penegak hukum. Dalam hal ini, sangat sah adanya jika gerakan kolektif masyarakat menggugat POLRI berdasar asas praduga bersalah. Tindakan otoriter (sewenang-wenang) POLRI jadi gejala baru kehidupan tata negara di negeri ini. Sikap otoritarian lahir bukan dari kandung militerisme, justru lahir dari kandung polisi, yang notabene dicap sebagai pelayan masyarakat. Gejala tersebutlah yang tadi saya sebut anomali.

Tindakan otoriter POLRI membidik orang-orang dalam tempo yang cukup berdekatan juga imbas dari pernyataan Jokowi “tak mau intervensi hukum”. Dalam suasana politik dan hukum yang riuh seperti saat ini, Jokowi seharusnya tidak perlu lagi mengartikan lema “intervensi” secara harfiah lagi. Makna intervensi juga harus dilihat dari kacamata etika hukum dan itikad pemberantasan korupsi. SBY beberapa tahun silam pun hadir di tengah-tengah gesekan hebat KPK-POLRI sebagai pelerai, bukan mengintervensi. Meskipun, harus kita sadari, keadaan poilitik zaman SBY dan Jokowi cukup jauh berbeda.

Mau Menunggu #Save siapa lagi, Pak Jokowi?

[caption id="attachment_372345" align="aligncenter" width="624" caption="Gerakan Kolektif Masyarakat untuk Pemberantasan Korupsi/Kompas.com"]

14259800431634766006
14259800431634766006
[/caption]

Imbas dari rentetan penetapan status tersangka dan terlapor yang diterapkan POLRI adalah lahirnya gerakan kolektif masyarakat dunia maya dengan idiom #Save nya. Dimulai dari #SaveBW, #SaveKPK, sampai yang terakhir adalah #SaveTempo. Gerakan ini harus disadari jadi cara dukungan moral paling kuat masyarakat mendukung tokoh-tokoh yang dianggap terancam dan teraniaya posisi politik dan posisi hukumnya. Namun, munculnya berbagai macam tanda pagar (tagar) itu adalah preseden buruk juga bom waktu bagi pemerintah. Maraknya gerakan #save di dunia maya maupun nyata mengindikasikan maraknya juga orang-orang yang terancam kebebasan berpendapat untuk menyuarakan kebenaran. Lagi-lagi, pemerintah tak bisa hadir dalam rangka pemenuhan hak-hak warga masyarakatnya.

Setelah gerakan #save untuk para pejabat KPK dan institusi media membahana, mari kita berdoa agar tak ada gerakan #SaveBloggerKompasiana. Semoga kebebasan menyuarakan pendapat tapi bertanggungjawab tetap jadi milik para blogger-blogger Kompasiana, di manapun anda berada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun