[caption id="attachment_386261" align="aligncenter" width="560" caption="sumber gambar: balebengong.net"][/caption]
“Jurnalisme warga” boleh dibilang temuan paling mutakhir dalam ranah jurnalistik saat ini. Sebuah istilah dimana warga turun tangan membagikan informasi tak ubahnya pewarta. Pelbagai sumber berpandangan beda tentang siapa yang sebenarnya memulai tren ini. Ada sumber yang mengatakan jurnalisme warga dirintis akibat bencana tsunami, 26 Desember 2004 silam di Aceh. Pada saat itu, warga Aceh lewat video dokumentasi pribadi merekam adegan air yang meluluhlantakkan Aceh dan sekitarnya. Video-video tersebut berperan penting dalam hal pasokan berita untuk media arus utama/mainstream. Ada lagi sumber yang menyebut bahwa salah satu televisi swasta yang membuka kiriman-kiriman video warga yang memberitakan kejadian di tempat tinggalnya masing-masing lewat platform jurnalisme warga bikinan mereka.
Apapun klaim terhadap siapa pemrakarsa “Jurnalisme Warga”, media mainstrem terlihat serius menggarap pangsa pasar yang terbilang anyar ini. SCTV dengan “Citizen 6”nya, Kompas Gramedia dengan “Kompasiana”nya, Detik dengan “Pasang Mata”nya, TEMPO Grup dengan “Indonesiana”nya, NET dengan tayangan NET 10 nya, tayangan berita yang dominan mengulas berita-berita kiriman warga dengan istilah CJ (Citizen Journalism). Semua mungkin satu pandangan bahwa masa depan dunia jurnalistik salah satunya ada pada “Jurnalisme Warga”.
Ciri khas dari jurnalisme warga terletak pada framing beritanya. Framing merupakan istilah dalam dunia jurnalistik tentang bagaimana sebuah media membingkai/mengkonstruksi/mengolah realitas yang terjadi di masyarakat menjadi sebuah berita, yang tentunya sejalan dengan tendensi media bersangkutan.
Dalam kasus jurnalisme warga, warga yang memposisikan dirinya sebagai pewarta berdiri bebas, tak terikat oleh institusi media manapun. Dari situ, terbentuklah sebuah framing pribadi, yang tak lain adalah framing si warga itu sendiri yang notabene cenderung mengkonstruksi realitas di lapangan tanpa embel-embel tendensi apapun. Maksudnya, memberitakan sesuatu dengan tak dikurangi atau dilebih-lebihkan demi kepentingan tertentu.
[caption id="attachment_361833" align="aligncenter" width="490" caption="tampilan lawas laman kompasiana, sumber: kompasiana.com"]
Hal itu yang membedakan jurnalis warga dengan media mainstream. Para Pewarta dalam media mainstream cenderung memiliki pandangan terhadap realitas yang homogen, bergantung pada media apa yang memayunginya. Lebih ekstrim lagi, beberapa institusi media menjadikan pewarta sebagai “pekerja pencari fakta” yang bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran para pemilik media yang notabene berafiliasi dengan kepentingan politik dan bisnis tertentu. Jangan sampai kepentingan-kepentingan tak bijak itu merusak framing berita “apa adanya” milik jurnalis-jurnalis warga media yang memayunginya. Bukan bermaksud berprasangka buruk, tapi potensi penyelewengan kepentingan itu sangat terbuka adanya jika melihat perkembangan jurnalisme warga yang begitu pesat.
Ciri bahasa khas buku harian juga jadi hal yang identik dengan jurnalisme warga. Dalam kasus jurnalisme warga berbasis tulisan via blog, bahasa-bahasa pribadi “apa adanya” itu meluncur bebas untuk ditulis. Dalam kondisi tertentu, membaca tulisan dengan bahasa ringan ala percakapan sehari-hari memang menyenangkan. Tetapi ada kalanya, informasi penting yang disampaikan via jurnalisme warga terasa kurang nyaman jika menggunakan bahasa sehari-hari tersebut. Bahasa buku catatan harian cenderung berputar-putar, tak langsung tertuju ke titik informasi yang dicari. Hal ini menjadi tantangan para warga pewarta juga pengelola media jurnalisme warga untuk menertibkan bahasa yang tepat guna sesuai konten beritanya, yang tentunya tak membebani para warga pewarta.
[caption id="attachment_361834" align="aligncenter" width="491" caption="talkshow tentang jurnalisme warga, sumber: media.kompasiana.com"]
Sebuah cita-cita baik tentunya, menjadikan berita-berita yang diproduksi oleh jurnalisme warga tak sekedar jadi berita “kelas dua” di mata para pembaca dan pengakses informasi. Jurnalisme warga harus menjadi tempat di mana berita-berita alternatif namun tetap inspiratif juga edukatif tumbuh subur, menjadi pilihan yang tak kalah kelas ketika mata para pembaca mulai bosan melihat berita-berita di media arus utama yang begitu-begitu aja.
Selamat datang di era Jurnalisme warga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H