Dalam sistem presidensial, presiden memiliki peran sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun, meskipun memiliki otoritas tersebut, presiden tetap perlu berkomunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam proses pengambilan keputusan. Di sinilah tantangan muncul, karena jika DPR menolak atau tidak menyetujui program yang diajukan, maka program tersebut tidak dapat langsung dijalankan.
Presiden dipilih melalui pemilihan umum dan diusung oleh partai politik, sementara anggota DPR adalah kader partai politik yang juga dipilih oleh rakyat. Bayangkan jika partai pengusung presiden berbeda dengan partai yang mendominasi DPR, dan DPR berposisi sebagai oposisi. Dalam situasi seperti ini, presiden akan menghadapi kesulitan dalam menjalankan program kerjanya.
Indonesia menganut sistem multipartai, yang berarti banyak partai politik dapat berdiri asalkan memenuhi syarat konstitusi. Akibatnya, DPR terdiri dari berbagai partai politik, sedangkan presiden biasanya diusung oleh koalisi dari beberapa partai. Namun, jika partai pengusung presiden berbeda dengan partai yang memenangkan kursi terbanyak di DPR, presiden harus mampu merekonsiliasi kekuatan politik agar pemerintahan dapat berjalan lancar. Proses ini sering kali sulit dilakukan karena pembagian kekuasaan sudah diatur dalam koalisi pendukung presiden, sehingga kepentingan politik pemenang di DPR tidak selalu terakomodasi.
Solusi dari permasalahan ini adalah membangun komunikasi intensif untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Partai pengusung presiden perlu bersedia berbagi sedikit kekuasaan dengan pihak oposisi untuk memastikan program-program pemerintah dapat berjalan tanpa hambatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H