Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres, bukan merupakan keberpihakan pada anak muda.
Sebab, jika berpihak pada kelompok muda, seharusnya yang diubah adalah batas usia. Namun, nyatanya MK malah menambahkan norma tentang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau struktur pada jabatan publik lainnya. Penambahan norma tersebut malah mempersulit anak muda dalam proses pencalonan diri sebagai Cawapres. Opini ini diambil dari banyak kelompok aktivis pro demokrasi, dan narasi ini memang harus kita amini bersama, bahwa memang pada akhirnya tidak menguntungkan kelompok muda sama sekali.
Putusan itu mengharuskan anak muda terlebih dahulu duduk pada kursi kekuasaan sebelum mencapai kursi cawapres. Seakan-akan ongkos politik kita murah, sedangkan untuk duduk di kursi jabatan publik setingkat calon anggota DPRD kabupaten/kota seharga Rp250 juta-Rp300 juta menurut LPM FE UI. Selain itu, kursi jabatan publik seperti bupati, wali kota, gubernur, dan jabatan legislatif ada batas usia yang mengatur, yang pada akhirnya kita tidak bisa begitu saja mencalonkan diri. Jika kita coba pikir kembali tentang putusan MK, sangat jauh dari menguntungkan anak muda. Yang sangat diuntungkan dari putusan itu adalah kelompok dinasti politik atau kelompok pengusaha.
Selain putusan MK tidak menguntungkan kelompok muda, putusan tersebut juga menyalahi fungsinya. Prof. Mahfud MD mengatakan bahwa MK seharusnya menjadi negatif legislator. Mahfud MD menyatakan bahwa negatif legislator merupakan kewenangan bertindak untuk menyatakan bahwa suatu norma bertentangan dengan konstitusi atau membiarkan suatu norma yang dibentuk oleh lembaga legislatif yang memiliki tolok ukur berupa original intent. Dari pernyataan tersebut, kita bisa tahu bahwa MK telah melakukan penyalahgunaan fungsi, di mana lembaga tersebut malah menjadi positif legislator. Positif legislator adalah penambah norma yang seharusnya fungsi itu ada pada badan legislatif, yaitu DPR dan MPR.
Pada posisi penyalahgunaan fungsi, MK juga melakukan kesalahan dalam melakukan proses persidangan dengan melibatkan Anwar Usman sebagai ketua MK. Anwar Usman sebagai seorang paman dari seorang pejabat publik yang mungkin memiliki kepentingan, ikut dalam persidangan. Padahal, seorang hakim tidak boleh ikut serta dalam proses persidangan jika itu berkaitan dengan keluarga. Dalilnya adalah nemo judex in propria causa, yang artinya seorang tidak dapat menjadi hakim untuk mengadili kepentingan dirinya sendiri. Secara tidak langsung, itu sudah mencederai putusan yang telah diketok palu oleh MK.
Kesimpulan
- Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres, bukan merupakan keberpihakan pada anak muda.
- Putusan tersebut justru mempersulit anak muda dalam proses pencalonan diri sebagai Cawapres.
- Putusan tersebut juga melanggar fungsi MK sebagai pengawal konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H