literasi yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan survei PISA (Programme for International Student Assessment) 2022, kemampuan membaca pelajar Indonesia berada di peringkat 66 dari 81 negara. Angka ini menunjukkan bahwa literasi di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Padahal, literasi yang meliputi kemampuan membaca, memahami, dan menggunakan informasi dengan baik merupakan aspek utama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Sayangnya, minat baca masyarakat Indonesia, khususnya pada kalangan remaja masih sangat rendah
Indonesia saat ini menghadapi krisisYang lebih memprihatinkan, dalam persiapan Tes PISA 2022, Kementerian Pendidikan telah memilih sampel sekolah dengan sangat hati-hati. Hampir 55% dari semua sekolah yang diikutkan dalam tes berada di Pulau Jawa, dan sebagian besar adalah sekolah dengan akreditasi A. Pemerintah sudah memilih sekolah-sekolah terbaik untuk mewakili Indonesia. Namun, hasil yang diperoleh tetap mengecewakan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatkan literasi bukanlah pekerjaan mudah dan memerlukan upaya luar biasa dari berbagai pihak.
Ada beberapa alasan mengapa remaja Indonesia kurang tertarik untuk membaca. Dari sisi internal, motivasi membaca yang rendah menjadi penyebab utama kurangnya minat membaca di kalangan remaja. Banyak remaja merasa bahwa membaca tidak memberikan manfaat langsung dan lebih memilih aktivitas lain yang mereka anggap lebih menarik, seperti bermain game atau menghabiskan waktu di media sosial. Dengan kehadiran teknologi, diharapkan membawa banyak kemudahan yang dapat berdampak besar pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDA) di Indonesia. Namun, hal ini justru berbanding terbalik sehingga menjadi gangguan karena menawarkan hiburan yang instan dan adiktif.
Berbagai faktor eksternal juga memperburuk rendahnya minat baca seseorang. Salah satunya adalah akses yang terbatas terhadap bahan bacaan berkualitas. Di berbagai daerah, perpustakaan masih minim dengan fasilitas yang sering kali kurang menarik bagi remaja sehingga kemauan untuk membaca semakin berkurang. Selain itu, lingkungan keluarga dan sekolah juga tidak banyak membantu secara signifikan. Membaca belum menjadi kebiasaan keluarga sehingga anak-anak tidak mendapatkan contoh langsung dari orang tua. Sedangkan di sekolah, pembelajaran sering berfokus pada hafalan ketimbang melatih kemampuan literasi dan pemikiran kritis seorang siswanya.
Dampak rendahnya minat baca ini sangat besar, baik pada individu maupun masyarakat. Rendahnya kemampuan literasi membuat remaja sulit berpikir kritis, dengan mudah memepercayai berita palsu, atau memahami informasi secara keliru. Hal ini mengurangi peluang mereka untuk sukses dalam pendidikan dan karier. Rendahnya literasi menjadi hambatan besar bagi kemajuan bangsa dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Di era globalisasi, keterampilan literasi sangat penting untuk bersaing secara ekonomi dan sosial. Tanpa literasi yang baik, bangsa ini akan semakin tertinggal jauh.
Namun, ada banyak langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Pertama adalah pemerintah dapat memperbanyak perpustakaan modern yang ramah anak muda, baik dalam bentuk fisik maupun digital. Perpustakaan dengan desain menarik dan koleksi buku yang relevan bisa menjadi magnet bagi remaja. Selain itu, program seperti "Gerakan Indonesia Membaca" bisa diperluas untuk menyediakan buku gratis atau murah agar lebih terjangkau.
Selanjutnya, keluarga juga memiliki peran yang besar dalam peningkatan membaca anaknya. Orang tua bisa meluangkan waktu untuk membaca bersama anak-anak mereka, menunjukkan bahwa membaca adalah aktivitas yang menyenangkan dan penting. Dalam lingkup sosial, adanya pojok baca di tempat umum, klub buku, atau kegiatan membaca bersama dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung budaya literasi.
Teknologi yang sering dianggap sebagai penghalang sebenarnya juga bisa menjadi solusi. Aplikasi membaca interaktif dengan elemen permainan atau tantangan bisa menarik perhatian remaja. Media sosial juga bisa digunakan untuk mempromosikan buku dan literasi melalui kampanye kreatif seperti tantangan membaca 30 hari atau ulasan buku populer.
Namun, solusi-solusi ini hanya akan berhasil jika ada dukungan dari berbagai pihak. Literasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga keluarga, sekolah, komunitas, dan perusahaan teknologi, literasi adalah tanggung jawab kita semua. Kita perlu bekerja sama untuk menciptakan generasi muda yang gemar membaca. Kita juga harus memahami bahwa literasi bukan sekadar membaca teks, tetapi kemampuan memahami dan memanfaatkan informasi untuk menyelesaikan masalah sehari-hari.
Dengan upaya bersama, krisis literasi ini bisa segara diatasi. Generasi muda dengan literasi yang baik tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri tetapi juga membantu memajukan bangsa. Sebagai penerus masa depan, meningkatkan minat baca adalah langkah awal yang sangat penting untuk membangun masa depan yang lebih cerah bagi mereka dan negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H