OSS kelihatannya memang sangat praktis. Kehadirannya memudahkan dunia usaha. Tapi, kendala-kendala seperti yang dijelaskan tadi tetap ada kok. Bahkan pelaku UMKM mesti mengeluarkan biaya tambahan untuk mengurus OSS itu. Jangan ditanya bagaimana jika si konsumen gagap teknologi alias gaptek.
Kasus OSS ini, misalnya kerap muncul pada klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Ini adalah standarsiasi nomor kode lapangan usaha. Nah, selama ini, nomor kode KBLI tak sinkron dengan kode data yang ada di Pengesahan AHU KemenkumHAM.Â
Penyebabnya, terkadang karena notaris tak menginput KBLI pada saat awal pembuatan akte notaris dan pengesahan Kumham. Akibatnya, ketika submit langsung ditolak. Karena kode KBLI nya tak sinkron.
Biasanya, petugas satu atap menyarankan konsumen kembali ke notaris dan merubah akte. Sialnya, untuk merubah akte di notaris itu bukannnya gratis. Ada biaya tambahan. Yang nilainya tentu tidak sedikit, mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Ini problem OSS yang belum diantisipasi untuk UMKM
LALU KEMANA KEPALA DAERAH?
Mereka, boro-boro turun tangan menyelesaikan sengkarut OSS ini. Jangan-jangan mereka tak tahu apa itu OSS? Toh, keseharian mereka memang cenderung disibukkan dengan aktivitas yang menguntungkan secara ekonomi yaitu kalkulator APBD dan APBN. Soal OSS, mungkin dianggap suatu yang remeh-temeh belaka atau dianggap program Pemerintah Pusat
Akhirnya, UMKM pemula sempoyongan. Mereka dalam keterpaksaan memilih berbisnis tanpa izin. Coba bayangkan, hari-hari mereka sudah ditimpa banyak masalah, mulai dari masalah keluarga, masalah bisnis.Â
Kok ditambah lagi dengan masalah ribetnya pembuatan izin, yang terkadang bisa memakan waktu berminggu-minggu. Mereka kian stres ketika mesti bolak-balik ke kantor KTSP, cuma untuk mengurus selembar kertas itu. Pelaku UMKM cuma bisa menghela nafas panjang.
Tapi, mau tak mau izin usaha tetap wajib diurus. Ketika usahanya mulai membesar, mereka akan berhadapan dengan petugas pajak dan masalah teknis lainnya.
Contoh kecil misalnya, ihwal IMB.
Begini, temuan di lapangan, UMKM pemula biasanya tak punya IMB. Bukannya enggan mengurus IMB, tapi bagi mereka yang hanya menyewa tempat tak merasa penting dengan IMB. Masalahnya, ketika dagangannya mulai membesar. Mereka mau tak mau mesti mengurus izin usaha. Nah, tanpa IMB, bagaimana mungkin pedagang bisa mengurus izin usaha?
Akhirnya, karena tak punya IMB, usahanya, naudzubillah...terancam tutup. Kendati, dagangannya mungkin laris manis. Mereka harus memeras otak ketika muncul opsi biaya untuk pembuatan izin. Apalagi nilainya sampai puluhan juta.