Mohon tunggu...
Achsinul Arfin
Achsinul Arfin Mohon Tunggu... Freelancer - Suka membaca dan menulis

Suka menulis, baca buku, review buku, serta semangat belajar dalam hal literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Indonesia Mulai Terpapar Resesi Seks

31 Desember 2022   13:56 Diperbarui: 31 Desember 2022   14:17 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pexels.com/id-id/@wildlittlethingsphoto

Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terpadat nomor 4 di dunia. Namun hal tersebut bisa terus-menerus berkurang, apalagi seiring bertambahnya waktu pernikahan penduduk di Indonesia nominal angka usianya besar, misalkan jika dahulu pernikahan laki-laki umumnya dilakukan pada usia 25 tahun, sekarang ini bisa lebih dari 30 tahun,  hal tersebut disebabkan semakin hari semakin mahalnya biaya hidup.

Jika keadaan terus berlanjut, bukannya tidak mungkin penduduk di Indonesia jumlahnya semakin berkurang, sehingga memunculkan fenomena yang disebut dengan resesi seks. Selain memilih menunda pernikahan beberapa pemuda modern tersebut ada memilih untuk tidak memiliki anak.

Yang patut disayangkan adalah ada juga publik figur yang secara terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak ingin memiliki anak dikarenakan populasi di dunia ini sudah banyak, sehingga ia tidak ingin lebih membuat penuh dunia ini lagi.

Memang sah-sah saja apabila dia berpikir demikian, akan tetapi dampaknya adalah para anak-anak muda yang menjadikannya role model akan terjerumus dengan pemikiran yang sama.

***

Resesi seks mempunyai dampak pertumbuhan penduduk semakin lama akan semakin berkurang. Bukannya mereka tidak tidak peduli dengan seks mereka memilih untuk menunda mempunyai anak..

Pemikiran tersebut secara umum di kota, karena para anak-anak muda tersebut lebih memfokuskan diri dalam pekerjaan dan menata karir,  sehingga mereka lebih memilih untuk tidak memprioritaskan pernikahan. 

Sudah ada contoh negara lain yang mengalami resesi seks, tengok saja Jepang,  para remaja-remaja tersebut meski sudah mempunyai pekerjaan yang mapan, akan tetapi lebih memilih untuk mengurungkan pernikahan, bahkan gaya hidup anak muda sekarang dengan gaya hidup anak zaman dahulu sudah sangat berbeda.

Satu hal lagi yang mencolok adalah ketika saya membaca salah satu media online, saat ini negara Jepang sangat gencar gencarnya untuk mempromosikan suju atau minuman keras buatan mereka,  karena gaya hidup anak-anak yang sekarang di Jepang jarang mengkonsumsi minuman beralkohol, sehingga aspek pendapatan negara semakin lama semakin turun.

Bisa jadi dengan berkurangnya minum-minuman alkohol tersebut hawa nafsu lebih bisa dikendalikan, tapi bagaimana dengan video dewasa yang tersebar di negara Jepang.

Video dewasa di Jepang tersebut  adalah salah satu langkah yang disengaja supaya dapat mengkampanyekan pendidikan seksual kepada remaja, meski antara realita dan ketnyataan dalam film banyak yang bertolak belakang.  

Di sana ada perusahaan khusus yang fokus membuat film dewasa dan hal tersebut adalah legal, tidak seperti yang ada di Indonesia, yang mana ketika ada orang yang membuat video dewasa akan dengan cepat diproses oleh pihak yang berwajib.

Dampak lain dari resesi seks  bisa merambah kepada perekonomian sebuah bangsa, karena semakin minimnya tenaga pekerja, dampaknya perusahaan-perusahaan akan semakin kesulitan untuk mencari pegawai,  meski saat ini banyak sekali pekerjaan pekerjaan yang digantikan oleh robot, akan tetapi masih ada banyak pekerjaan yang membutuhkan skill manusia.

Tingkat perputaran uang dan kesejahteraan pun juga akan turut berkurang,  karena semakin sedikit penduduk, semakin sedikit pula transaksi terjadi.

Andaikan resesi seks memang benar-benar terjadi di Indonesia bukannya tidak mungkin kelak nantinya akan mencari tenaga-tenaga asing dari luar negeri, sama seperti yang dilakukan oleh negara Jepang. Bahkan pemerintah di sana sampai mengimpor sebagian tenaga pertanian dari Indonesia.

Tidak dipungkiri jika pergeseran mindset  juga menjadi pemicu kenapa anak-anak usia milenial, dan setelahnya mereka lebih memilih untuk tidak mempunyai banyak anak, berbeda dengan orang zaman dahulu yang mempunyai prinsip banyak anak banyak rezeki.

Andaikan saja prinsip banyak anak banyak rezeki tersebut dilakukan pada zaman sekarang bisa jadi orang tua yang kurang mampu secara finansial akan menjadi jauh lebih stress karena tingkat gengsi generasi sekarang ini lebih besar daripada orang-orang zaman dahulu.

Jika orang dahulu sudah cukup untuk makan dan sandang, anak-anak muda sekarang pun kebutuhannya jauh lebih besar, misalkan dengan adanya handphone, para keluarga tersebut tentu akan mengeluarkan biaya lebih banyak agar bisa membeli pulsa.

Meski perkembangan kehidupan sehari-hari sekarang lebih beragam, tapi untuk kebutuhan sekolah juga tidak kalah lebih beragam, mulai dari buku tulis, seragam, apalagi yang berada di daerah perkotaan gaya hidupnya tentu lebih mahal.

Jadi, tidak heran apabila semakin lama Indonesia bisa terpapar resesi seks seperti yang terjadi di Jepang..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun